Rabu, 31 Januari 2018

Jaminan Fidusia

Kewajiban Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan berdasarkan PMK No. 130/PMK.010/2012

Di jaman yang serba modern saat ini, rasanya sangat jarang kita melihat orang yang tidak memiliki kendaraan dalam hal ini motor. Hampir setiap satu kepala keluarga minimal memiliki 1 (satu) motor baik itu di kota maupun di desa. Kebutuhan akan motor sangatlah dirasakan oleh masyarakat mengingat harga motor yang dapat dibeli dengan cara kredit (mencicil) dengan DP (Down Payment) mulai dari Rp 500.000,- s/d Rp 2.000.000,- tergantung kesepakatan dan promo dari perusahaan pembiayaan (Leasing).

Dalam praktiknya tidak sedikit perusahaan-perusahaan pembiayaan yang menawarkan segala bentuk promosinya baik dalam bentuk hadiah langsung yang bisa dibawa maupun dengan uang muka yang sangat rendah demi untuk mendapatkan konsumen. Bahkan mereka menawarkan bonus yang tinggi bagi yang bisa membawa konsumen untuk membeli kendaraan melalui lembaga pembiayaan tersebut. Dan dasar dari Perusahaan Pembiayaan dalam melakukan transaksi dengan konsumennya adalah dengan menggunakan perjanjian secara tertulis yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia.

Namun, sebelumnya perlu saya jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Fidusia itu sendiri, berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dijelaskan:
“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

Untuk lebih sederhananya, agar lebih mudah dipahami akan saya jelaskan sebagai berikut: A adalah perusahaan pembiayaan, dan anda adalah pengusaha yang membutuhkan modal untuk usaha. Dalam perjanjian disepakati bahwa A akan memberikan modal usaha sebesar Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan pengembalian yang telah disepakati bersama dalam kontrak. Kemudian perjanjian tersebut diikat dengan jaminan fidusia dimana yang menjadi objek jaminan fidusia adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah milik anda. Nah, SHM milik anda kemudian akan disimpan oleh A namun penguasaan terhadap tanah tersebut masih hak anda selaku pemiliknya.

Adapun dalam hal pembiayaan kendaraan bermotor seperti yang sedang kita bahas, maka anda membeli kendaraan bermotor dengan cara kredit kepada leasing, kemudian leasing akan mencarikan kendaraan yang anda akan kredit kepada dealer untuk kemudian kendaraan tersebut dialihkan kepada anda dengan ketentuan hak atas kepemilikan kendaraan tersebut tetap berada pada perusahaan pembiayaan (leasing) hingga anda melunasi pembayaran terhadap kendaraan yang anda beli.
Dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor tersebut, perusahaan pembiayaan akan mengikatkan dengan suatu jaminan. Nah, jaminan inilah yang dinamakan jaminan fidusia. Jadi, pengertian jaminan fidusia adalah perjanjian hutang piutang antara kreditor (perusahaan leasing) dan debitor (anda selaku pembeli) dengan melibatkan penjaminan.

Pada umumnya Perusahaan Pembiayaan didalam melaksanakan penjualan atas setiap kendaraan bermotor kepada konsumen dengan menggunakan perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia berupa Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), akan tetapi ternyata dalam prakteknya banyak dari perjanjian yang dibuat oleh perusahaan tersebut tidak dibuat dalam Akta Notariil (Akta Notaris) dan  tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia, walaupun secara tertulis lembaga pembiayaan tersebut dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia.

Oleh karenanya, Kementrian Keuangan  dengan kebijakannya pada tanggal 7 Agutsus 2012 yang meWAJIBkan bagi setiap Perusahaan Pembiayaan untuk mendaftarkan Jaminan Fidusia ke kantor Pendaftaran Fidusia sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor: 130/Pmk.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
Menurut Pasal 1 PMK No. 130/PMK.010/2012 tersebut, dijelaskan bahwa “Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia WAJIB mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia.”
Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan:
     a)    pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah;
     b)    dan/atau pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya berasal dari pembiayaanpenerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).

Dengan ditetapkannya peraturan ini, maka seluruh perusahaan pembiayaan harus mendaftarkan fidusia untuk setiap transaksi pembiayaannya. Oleh sebab itu pasal 2 PMK No. 130/PMK.010/2012, menyebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.

Adapun bagi perusahaan pembiayaan yang tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka lembaga pembiayaan tersebut dilarang melakukan penarikan terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut dalam hal ini berupa motor atau mobil yang anda kredit, meski anda mengalami penunggakan dalam pembayarannya. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 peraturan tersebut, yaitu:
“Perusahaan Pembiayaan DILARANG melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.”

Jadi, menurut saya dengan adanya kewajiban pendaftaran jaminan fidusia oleh perusahaan pembiayaan kepada kantor fidusia yang diatur dalam PMK ini, justru memberikan kepastian hukum bagi perusahaan pembiayaan ketika terjadi tunggakan terhadap kendaraan yang sedang dikredit. Karena dengan telah didaftarkannya jaminan fidusia tersebut, maka perusahaan pembiayaan memiliki kewenangan untuk mengeksekusi (hak eksekutorial) kendaraan milik debitur yang mengalami tunggakan dalam pembayaran.
Hal ini sebagai dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia : “Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADlLAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat (2)-nya:
 “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Dan ayat (3), yaitu:
“Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”
Melihat ketentuan diatas sebenarnya jika kreditur dalam hal ini Perusahaan Pembiayaan tersebut membuat Perjanjian ke dalam Akta Notariil (Akta Notaris) dan didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia maka akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Yang dengan sertifikat jaminan fidusia itulah kreditur/penerima fidusia secara serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie) tanpa memerlukan putusan Pengadilan karena Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Setelah mengetahui dasar dan ketentuan tersebut diatas, akibat hukum dari perjanjian Fidusia yang dibuat tanpa menggunakan bentuk Akta Notariil dan tidak didaftarkan, maka Perjanjian dengan jaminan Fidusia tersebut hanyalah berupa Akta dibawah tangan yang tidak mempunyai kekuatan eksekutorial untuk mengeksekusi langsung barang yang ada dalam penguasaan konsumen, sebagaimana yang sering terhadi dalam praktik dimasyarakat.

Permasalahan yang muncul adalah ketika anda sebagai konsumen (Debitur) tidak membayar angsuran dalam beberapa waktu tertentu atau tidak melunasinya maka pihak Perusahaan Pembiayaan tidak dapat secara serta merta mengeksekusi secara langsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara perdata hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dan hal itu memerlukan waktu yang lama. Padahal Faktanya Ada dari beberapa diantara konsumen memang benar-benar melakukan pembayaran sampai dengan lunas  namun ada juga konsumen yang tidak bisa melunasinya.

Ironisnya dalam mengatasi permasalahan yang timbul seperti tersebut diatas, perusahaan pembiayaan biasanya menggunakan jasa Debt Collector (DC)/Tukang Tagih untuk mengambil baik secara paksa maupun secara baik-baik kendaraan dari tangan konsumen yang tidak melunasi kewajibannya membayar hutang/ cicilan angsuran tersebut. dan kebanyakan di lapangan para Debt Collector mengawasi  tiap-tiap kendaraan yang melintas pada ruas-ruas jalan tertentu dengan membawa sebuah buku (atau saat ini sudah ada aplikasi pengecekan tersebut) yang berisi nomor Kendaraan (Plat Nomor) tertentu, ketika kendaraan yang dimaksud melintas langsung dikejar dan diberhentikan paksa, dan pengguna kendaraan itu juga biasanya dipaksa untuk menandatangani berita acara penyerahan kendaraannya kepada Debt Collector tersebut. Dan menghimbau kepada pemakai kendaraan itu untuk menyelesaikan di kantor Pembiayaan yang bersangkutan. Sebagian dari masyarakat yang kurang memahami perbuatan melawan hukum tersebut biasanya timbul rasa takut dan dengan terpaksa menyerahkan kendaraan tersebut dan menandatangani berkas yang disodorkan kepadanya.

Lebih jauhnya berdasarkan peraturan yang berlaku maka, Perbuatan para Debt Collector yang mengatasnamakan perusahaan pembiayaan terkait dalam mengeksekusi benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tersebut adalah merupakan tindak pidana. Baik perusahaan Pembiayaan maupun Debt Collector yang digunakan jasanya tidak berhak mengeksekusi barang tersebut secara langsung tanpa adanya putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 368 KUHPidana tersebut berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Menurut R. Soesilo menjelaskan pasal tersebut dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal dan menamakan perbuatan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP sebagai pemerasan dengan kekerasan yang mana pemerasnya:
     1.    Memaksa orang lain;
    2.    Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;
   3.    Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
     4.    Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan
Bagi korban dari tindakan sewenang-wenang tersebut diatas dapat langsung melaporkan ke Kantor kepolisian Republik Indonesia terdekat.

Hal itu menjadi peringatan bagi Perusahaan Pembiayaan yang tidak mendaftarkan perjanjian Fidusia tersebut ke Kantor pendaftaran Fidusia. Dan bagi sebagian dari Debt Collector yang belum memahami permasalahan yang bakal timbul akibat dari perbuatannya bisa berpikir dua kali untuk melakukan tindakan tersebut diatas. Karena jika memang terjadi adanya laporan dari pihak korban, kebanyakan Perusahaan Pembiayaan tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan para Debt Collector tersebut. Hal itu berakibat merugikan bagi Debt Collector itu sendiri.

Demikian penjelasan saya terkait kewajiban perusahaan pembiayaan untuk mendaftarkan jaminan fidusia berdasarkan PMK No. 130/PMK/10/2012, semoga dapat menambah wawasan terhadap hukum positif yang berlaku di negara ini.

Bandar Lampung, 1 Februari 2018
Penulis,



Abdul Rahman Praja Negara, S.H.

Dasar hukum:
     1.    UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
   2.    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/Pmk.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.   

     3.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Jumat, 19 Januari 2018

Permasalahan Hukum Terkait Penggunaan Bea Materai

Legal Opinion (LO)
“Ketentuan Penggunaan Bea Materai Untuk Setiap Transaksi Jual Beli”

A.    Permasalahan
Bagaimana ketentuan Hukum dalam penggunaan Bea Materai Untuk Setiap Transaksi Jual Beli?

B.     Analisis Hukum
Bahwa untuk mengetahui ketentuan mengenai perlu atau tidaknya penggunaan materai dan berapa tarif materai yang digunakan dalam setiap transaksi jual beli, maka perlu merujuk pada UU No. No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai dan PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.

Bahwa materai, sebenarnya yang dimaksud adalah benda meterai, sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) huruf b UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, yang menjelaskan: “Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia”.

Adapun dokumen yang dikenakan Bea Materai, diatur dalam PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai, Pasal 1 menjelaskan:
Bahwa dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah dokumen yang berbentuk :
a.       surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b.      akta-akta Notaris termasuk salinannya;
c.       akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap- rangkapnya;
d.      surat yang memuat jumlah uang, yaitu :
1.      yang menyebutkan penerimaan uang;
2.      yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank;
3.      yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank; atau
4.      yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e.       surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; atau
f.       dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan,
yaitu :
1.      surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2.      surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.

Penggunaan struk pembayaran pada setiap transaksi jual beli, pada dasarnya termasuk ke dalam dokumen yang dikenakan Bea Materai, seperti yang disebutkan pada huruf d karena struk pembayaran merupakan surat yang memuat jumlah uang. Namun, ada ketentuan terhadap setiap struk pembayaran dikenakan bea materai atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 24 Tahun 2000, yaitu:
“(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf d dan huruf e :
a.      yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai;
b.      yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meteraidengan tarif sebesar Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah);
c.       yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah),dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah)”.

C.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian ketentuan tersebut di atas, setiap struk pembayaran pada setiap transaksi jual beli tidak dikenakan Bea Materai apabila nilai transaksi sampai dengan Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Bea Materai baru dikenakan, apabila nilai transaksi lebih dari Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan tarif Bea Materai sebesar Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah) dan untuk nilai transaksi lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan tarif Bea Materai sebesar Rp 6.000,- (enam ribu rupiah).

D.    Saran
Dengan telah diaturnya ketentuan mengenai Bea Materai pada UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai dan PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai. Kami menyarankan agar setiap transaksi jual beli dilakukan dengan mematuhi dan menjalankan ketentuan sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

Demikian jawaban kami ini Kami sampaikan, semoga bermanfaat. Atas perhatian dan kerjasamanya Kami ucapakan terimakasih.

Bandar Lampung 19 Januari 2018
Hormat Kami,



Abdul Rahman PN, S.H.





JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...