Bahwa alasan
mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki
KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terkait dengan penyadapan yang
dinilai melebihi (beyond) kewenangan
yang dimiliki institusi penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan
dimana dalam melakukan penyadapan harus terlebih dahulu mendapat izin dari
ketua pengadilan. Oleh karenanya dirasa perlu adanya Dewan Pengawas dalam
setiap tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.
Kasus demi kasus
tindak pidana korupsi yang selama ini terungkap adalah berawal dari proses
penyadapan yang telah lebih dulu dilakukan oleh KPK kepada calon tersangkanya
tidak terbatas baik itu pejabat publik maupun pengusaha yang bersangkutan
hingga akhirnya OTT dijadikan sebagai alat terakhir untuk menjerat para calon
tersangka. Berkaca dari beberapa pengalaman OTT yang terjadi di Lampung dan yang terbaru menjerat Bupati Lampung Utara, tidak
hanya bupati atau pejabat publik lainnya namun KPK juga ikut menyeret nama-nama pengusaha yang ikut
menjadi otak terjadinya tindak pidana korupsi.
Terlepas dari pro
dan kontra disahkannya RUU KPK tersebut, dalam opini ini penulis lebih
menekankan kepada alasan mendasar mengapa dalam setiap OTT yang dilakukan KPK
selalu saja ada pengusaha yang ditetapkan sebagai tersangka, padahal pengusaha
tersebut hanya selaku pemegang saham atau merangkap sebagai komisaris dan jika
mengacu pada UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) direksilah
yang memiliki kewenangan lebih banyak dalam menjalankan suatu korporasi dan
bertanggungjawab baik di dalam maupun di luar persidangan.
Perseroan
Terbatas (PT) diakui sebagai subjek hukum, yang artinya memiliki hak dan
kewajiban serta memiliki tanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh PT
tersebut. UU PT mengatur adanya pemisahan tanggungjawab baik antara
tanggungjawab PT itu sendiri dan tanggungjawab pribadi pemilik PT (pemegang
saham). Misalnya, jika suatu kegiatan yang dilakukan atas nama PT dan terjadi
kerugian pada pihak ketiga, maka pihak ketiga hanya dapat meminta
pertanggungjawaban hukum kepada PT (sebatas harta PT saja), tidak termasuk harta
pribadi si Pemilik PT (vide: pasal
3 ayat (1) UU PT).
Pemahaman di
atas, dalam praktiknya menjadi salah satu modus yang dilakukan oleh pemegang
saham untuk menyalahgunakan suatu korporasi untuk kepentingan pribadi maupun korporasi
tersebut (sebagai contoh untuk memenangkan tender, ada loby-loby tertentu yang dilakukan antara pemegang saham dengan
pejabat publik). Para pengusaha yang memiliki saham pada suatu korporasi
menilai bahwa ancaman pidana bagi tindak pidana korporasi paling jauh hanya
sebatas denda atau sanksi administratif seperti pencabutan izin, bukan
pemenjaraan terhadap organ badan hukum (kecuali undang undang menentukan lain).
Berbeda dengan tindak pidana perorangan, maka dapat dikenakan ancaman hukum
penjara. Hal ini sebagaimana pendapat dari ahli hukum R. Soebekti mengenai
ciri-ciri dari “Badan Hukum”, sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali, 1987, dalam
bukunya berjudul “Badan Hukum”, (hal.
19) yaitu: “Badan hukum pada pokoknya
adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan
perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat
digugat dan menggugat di depan hakim.” Dari pengertian tersebut, Korporasi
adalah subjek hukum (recht persoon)
yang merupakan bentuk artificial person
dari seorang manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang
membedakannya dengan manusia adalah korporasi sebagai subjek hukum tentunya
tidak dapat dikenakan pemidanaan berupa pidana yang merampas kemerdekaan badan
(penjara).
Nah,
karakterisitik pembeda inilah yang acapkali membuat para pemegang saham yang
beritikad buruk untuk menyalahgunakan korporasi dengan pengaruh yang ia miliki
(sebagai pemilik modal) tanpa terancam oleh hukuman pidana penjara.
Meskipun memang diatur dalam UU PT terkait batasan pertanggungjawaban bagi
pemegang saham (limited liability),
namun dalam praktiknya KPK tetap saja dapat menjerat para pemegang saham untuk
ikut dijadikan tersangka. Pertanyaan menarik mengenai polemik ini adalah
mengapa pemegang saham dapat dijerat secara perorangan dalam tindak pidana
korupsi, padahal dia tidak bertindak sebagai direksi yang memiliki kewenangan
penuh dalam menjalankan suatu korporasi?
Penulis dalam opini
ini mencoba membuka suatu pemahaman yang dilupakan bahwa ada sebuah doktrin
yang menghapuskan tirai pembatas antara pemegang saham dengan korporasi dalam
suatu pertanggungjawaban hukum, doktrin tersebut adalah “Piercing The Corporate Veil” Dalam hal ini, penulis memberikan
pemahaman sederhana bahwa dalam doktrin tersebut terjadi pemisahan
tanggungjawab antara korporasi dan luar korporasi (bisa organ PT/korporasi
ataupun subjek hukum lainnya) yang disingkapi atau disobek oleh hukum.
Pertanggungjawaban terbatas menjadi tidak berlaku bagi pemegang saham yang
terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT. Pertanggungjawaban
pribadi pemegang saham juga dapat diterapkan dalam ranah pidana apabila
tindakan atau perbuatan pemegang saham tersebut patut diduga melakukan atau
menyuruh lakukan suatu tindak pidana dan terpenuhinya unsur kesalahan (schuld) dalam tindak pidana.
Dalam UU No. 31
Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001
Tentang Tipikor sendiri telah diatur dalam Pasal 20 ayat (1) yang menjelaskan “Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau
atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penhatuhan pidana dapat dilakukan
terhadap korporasi dan atau pengurusnya.”
Lebih lanjut, dalam perjalanannya menunggu pengesahan Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Rancangan Kitab
Hukum Acara Pidana Indonesia (RUU KUHAP), Mahkamah Agung RI telah menerbitkan
Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana
oleh Korporasi sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan
perkara pidana yang dilakukan oleh Korporasi. Dimana dalam Pasal 5 Perma
13/2016 telah mengatur bahwa “dalam hal
seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti, atau meninggal dunia tidak
mengakibatkan hilangnya suatu pertanggungjawaban Korporasi”. Oleh karena
itu, dalam Pasal 23 Perma 13/2016 juga diatur bahwa “Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap
Korporasi atau Pengurus, atau Korporasi dan Pengurus, baik secara alternatif
maupun kumulatif.”
Ketentuan hukum
di atas merupakan hal yang melegitimasi KPK untuk dapat juga menjerat para pengusaha
sebagai pemegang saham atau yang merangkap sebagai komisaris dimana selama ini
berlindung pada pasal 3 ayat (1) UU PT terkait pembatasan tanggungjawab
korporasi (limited liability).
Sebagai bagian akhir, opini ini ditujukan khususnya kepada para pengusaha yang
meskipun dalam stuktur jabatan hanya sebagai komisaris atau bahkan tidak
memiliki jabatan sekalipun, untuk dapat mempertimbangkan tindakan hukum dengan
tidak menggunakan pengaruhnya yang dapat merugikan tidak hanya korporasi namun
juga kepada diri pribadi agar terhindar dari jerat OTT KPK. Akan tetapi, ketika RUU KPK mulai berlaku efektif sejak 17 Oktober 2019 rasanya akan ada strategi baru dari KPK karena senjata utama (penyadapan) tak bisa lagi digunakan tanpa seizin Dewan Pengawas dan jika prosedur penyadapan menyalahi ketentuan dalam RUU KPK maka gugatan pra peradilan yang akan menjadi serangan balik bagi para tersangka KPK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar