BAB I
PENDAHULUAN
A.
Kelautan
Wilayah suatu negara
selain kita kenal udara dan darat juga ada laut. Namun masalah kelautan atau
wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara tertentulah
yang mempunyai wilayah laut yaitu negara di mana wilayah daratnya berbatasan
dengan laut.
Laut adakalanya
merupakan batas suatu negara dengan negara lain dengan titik batas yang
ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau multilateral yang berarti pula
merupakan batas kekuasaan suatu negara, sejauh garis terluar batas wilayahnya.
Dalam perkembangan
hukum internasional, batas kekuasaan yang merupakan batas wilayah suatu begara
sangat dipegang erat, pelanggaran terhadap wilayah suatu negara dapat berakibat
fatal bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut
akan berakibat peperangan. Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang baik
bagi setiap negara dan perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar
tidak merugikan kepentingan negara lain.
Penentuan batas wilayah
yang meliputi kelautan di dalam perbuatannya selalu memperhatikan bentuk
konsekuensi dan pertimbangan lain sehingga kepentingannya sama-sama berjalan.
Dalam pertimbangan secara umum dapat memperhatikan :
1. Keadaan
geografi
2. Strategi
(keuntungan dan kerugian dalam pertahanan dan keamanan)
3. Kesamarataan
(tingkatan)
Bagi negara-negara yang
wilayahnya berbatasan dengan wilayah negara lain batasnya tidak ditentukan
secara sepihak, melainkan memperhatikan :
1. Historinya,
dan 2. Perjanjian yang dilakukan
Berdasarkan pengalaman praktik
ketatanegaraan yang bersifat internasional, apabila hanya memperhatikan
sejarah/historinya saja masih banyak menimbulkan permasalahan.
Dalam sejarah hukum
internasional, selalu mengupayakan penetapan batas laut teritorial yang berlaku
secara universal dengan memberikan catatanbagi negara-negara pantai dan
pelintas. Semula batas teritorial suatu negara ditentukan berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam praktik ketatanegaraan yang bersangkutan
dengan memperhatikan kepentingan negara lainnya[1].
Penentuan batas laut
demikian sangatlah subyektif dan tidak mustahil hanya kepentingan sendirilah
yang diutamakan sehingga di dalam penentuan batasnya disesuaikan kepentingan
masing-masing. Bagi hukum internasional banyak menimbulkan keresahan-keresahan
khususnya bagi negara pelintasnya, karena dalam penyelesaiannya tidak dapat
diterapkan ketentuan yang bersifat umum universal.
Upaya yang dilakukan
untuk membentuk dan melahirkan ketentuan yang dapat diterapkan secara
internasional terus dilakukan dengan melihat gambaran keadaan praktik penentuan
batas wilayah laut dari masing-masing negara pantai.
1. Pada
tahun 1936 telah diadakan konferensi kodifikasi di Den Haag 2. Pada tahun 1939, dikeluarkan ordonansi yang mengatur batas lebar laut teritorial sejauh 3 mil.
3. Pada
tahun 1958, diadakan konferensi hukum laut di Jenewa belum mampu menghasilkan
kesepakatan internasional dalam jarak 3 mil laut.
4. Pada
tahun 1960, diadakan konferensi Jenewa (Hukum Laut II) belum menghasilkan
kesepakatan.
5. Pada
tahun 1974, diadakan konferensi Hukum Laut di Caracas Venezuela yang menentukan
jarak wilayah laut teritorial sejauh 12 mil.
6.Pada tahun 1982,
diadakan konferensi Hukum Laut III (UNCLOS) dan diperoleh kesepakatan bersama dalam
jarak 12 mil laut.
Ketentuan yang
dikeluarkan ini dimaksudkan agar berlaku secara umum sepanjang dapat diterapkan
pada kondisi wilayah laut suatu negara, kecuali bagi negara-negara pantai yang
wilayah lautnya tidak memenuhi batas yang ditentukan, mengingat batas-batas
yang dimaksud merupakan batas maksimal yang didapat dimanfaatkan oleh negara
pantai. Apabila dijumpai keadaan batas
kurang dari yang dotentukan sebagai kesepakatan internasional, maka
penyelesaian dilakukan melalui perundingan.
Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, mengungkapkan adanya
peristiwa perikanan Inggris dengan Norwegia (Anglo Norwegian Fisheries Case)
bahwa penetapan batas laut teritorial merupakan tindakan sepihak yang
sepenuhnya menjadi wewenang suatu negara, namun untuk keabsahannya menurut
hukum internasional perlu diperhatikan beberapa hal sebagai pertimbangan pokok,
antara lain :
1 -
Eratnya hubungan laut teritorial
dengailayah darat.
- Bagian-bagian laut yang terletak pada
sisi dalam garis pangkal cukup erat hubungannya dengan daratan untuk dapat
tunduk pada ketentuan-ketentuan negara perairan pedalaman.
3 -
Kepentingan-kepentingan ekonomi setempat
yang khas didasarkan atas adanya kebiasaan-kebiasaan yang cukup lama[2].
Hal ini bermakna tidak
ada wilayah yang tidak berbatasan dengan daratan menjadi wilayah wilayah suatu
negara, selain itu dari segi sejarah cukup penting untuk menentukan
luasnya/panjangnya jarak laut dengan daratannya yang merupakan wilayah suatu
negara.
Indonesia dengan bentuk
geografinya sebagai negara kepulauan yang membentang beribu-ribu pulau dengan
corak beraneka ragam dan cirinya sendiri-sendiri, maka untuk menjaga keutuhan
teritorial serta perlindungan kekayaan alam perlu semua pulau/kepulauan harus
berada dalam keutuhan/kesatuan bulat. Berdasarkan pertimbangan itu, pemerintah
Indonesia menyatakan bahwa, segala perairan disekitar, diantara dan yang
menghubungkan pulau-pulau merupakan wilayah teritorial negara Indonesia.
Dengan pertimbangan dan
alasan-alasan logis di atas pulau-pulau yang tersebar secara terpisah satu sama
lainnya pada dasarnya merupakan satu unit dan terpisah karena perubahan
alamiah.
Kebijakan yang ditempuh
dengan tetap mempertahankan dan memperhatikan kepentingan-kepentingan
negara-negara lain, maka lautan yang terletak diantara pulau-pulau merupakan
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari daratan. Kemudian dalam perkembangan
ditetapkannya wawasan
nusantara sebagai konsepsi kesatuan wilayah, bangsa dan negara dengan memandang
Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi tanah (darat), udara di atasnya
dan laut secara tidak terpisah, meliputi segala bidang kehidupan :
1. Politik
2. Ekonomi
3. Budaya
4. Hankam
Kesatuan yang
ditempuhnya memandang wilayah-wilayah tersebut menjadi kekuasaannya dengan
kedaulatan penuh yang melekat pada wilayah tersebut, sehingga dapat menghindari
bentuk-bentuk ancaman yang berasal dari luar yang dapat mengganggu stabilitas
dan keutuhan negara.
B.
Perkembangan wilayah kelautan
Dewasa ini, dengan
hasil dari beberapa konvensi tentang hukum laut yang semula hanya menganut
batas laut teritorial sejauh 3 mil yang kemudian berkembang dan melalui
konvensi hukum laut internasional, jarak
tersebut diperpanjang 4 – 6 mil, namun belum dapat diberlakukan secara
universal baru pada tahun 1982 telah ditelorkan kesepakatan bersama baik oleh
negara pantai maupun tidak berpantai, bahwa lebar laut teritorial maksimal 12
mil.
Menilik sejarah, negara
Indonesia yang cukup dikenal wilayahnya merupakan kumpulan dari pulau-pulau
besar dan kecil, dalam praktik ketatanegaraannya telah memperlakukan ketentuan
selebar 12 mil. Di mana tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia
mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan “Deklarasi H. Djuanda” :
"Bahwa
perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian
pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan
Negara Republik Indonesia dan demikian merupakan bagian daripada perairan
nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia."
Dikeluarkannya
deklarasi ini, dimaksudkan untuk menyatukan wilayah Indonesia yang
terpecah-pecah sehingga deklarasi akan menutup adanya lautan bebas yang berada
di antara pulau-pulau wilayah daratan.
C.
Kekayaan laut dan pengelolaannya
Semakin disadari bahwa
laut selain berfungsi sebagai penghubung wilayah satu dan lainnya dalam
memperlancar hubungan transportasi, juga kekayaan yang terkandung di dalamnya
sangat menopang hidup dan kehidupan rakyat banyak. Namun dengan potensi
kekayaan yang ada dapat menimbulkan bencana apabila dalam pengelolaannya tanpa
memperhatikan batas kemampuan alam.
Sebenarnya laut telah
lama diupayakan orang atau sekelompok orang sebagai lahan yang bertaraf
nasional bahkan internasional. Wilayah laut yang diupayakan tersebut selain
berupa perairan pedalaman teritorial juga wilayah perikanan di Zona Ekonomi
Eksklusif. Dari masing-masing wilayah tersebut, khususnya di Zona Ekonomi
Eksklusif, pemerintah Indonesia tidak mempunyai kedaulatan secara penuh kecuali
yang berkaitan dengan masalah ekonomi, sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun
1983.
Dalam abad modern ini
pengelolaan dan penagkapan ikan dilengkapi dengan peralatan yang cuku modern,
tidak lagi penagkapan yang dilakukan secara tradisional. Namun dampak yang
cukup dirasakan dari kegiatan pengelolaan tersebut adalah pengaruhnya terhadap
ekosistem/lingkungan laut, terutama apabila pengelolaannya tanpa memperhatikan
ketentuan dan persyaratan yang diwajibkan. Dalam penentuan persyaratan sudah
diperhitungkan kapasitas dan kualitas lingkungan laut, sehingga pelanggaran
terhadap persyaratan yang diwajibkan bisa dicegah.
Sumber daya alam (laut)
yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat banyak, pengelompokannya dapat
dibedakan dalam 2 jenis :
1 1.
Hayati
2 2.
Non hayati.
Sumber daya alam hayati
yang dimaksud berupa pembudidayaan ikan maupun makhluk hidup laut lainnya yang
berada di perairan pedalaman, laut teritorial ataupun ZEE. Yang dalam hal ini
hanya jenis-jenis ikan tertentu yang diizinkan untuk dilakukan penagkapan, hal
ini dimaksud untuk membina kelestarian sumber daya ikan.
Seperti telah
disinggung sebelumnya bahwa pembudidayaan sumber alam selain di bidang hayati
juga non hayati. Untuk non hayati yang cukup besar pembudidayaan laut dalam
bentuk
eksplorasi atau
eksploitasi minyak dan gas bumi. Dalam sejarahnya, pembudidayaan tersebut
secara intensif mulai dikerjakan pada tahun 1984 dengan mengupayakan untuk
kemakmuran rakyat banyak.
[1] P. Joko
Subagyo, Perkembangan Hukum Laut, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985)hlm.31.
[2] Mochtar
Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Bina Cipta, 1967)hlm.71
buku I.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH
TERTUTUP
Di dalam konvensi perserikatan bangsa-bangsa
tentang hukum laut, bab IX tentang
laut tertutup atau setengah tertutup (enclosed or semi-enclosed), pasal 122,
laut tertutup atau setengah tertutup (enclosed or semi-enclosed), pasal 122,
dijelaskan bahwa:
untuk
maksud konvensi ini. "laut tertutup atau setengah tertutup" berarti
suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau
lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur
yang sempit atau yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan
zona ekonomi eksklusifnya dua atau lebih negara pantai.
Konvensi
ini menganjurkan untuk setiap negara yang berbatasan denga laut tertutup atau setengah terututup untuk
mengadakan kerja sama mengenai pengelolaan, konversi sumber kekayaan alam
hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut tersebut, seperti
yang dijelaskan dalam pasal 123 tentang kerja sama antara negara-negara yang
berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup, yang berbunyi :
Negara-negara
yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup hendaknya
bekerjasama satu sama lainnya dalam melaksanakan hak dan kewajibannya
berdasarkan Konvensi ini. Untuk keperluan ini mereka harus berusaha secara
langsung atau melalui organisasi regional yang tepat :
(a) untuk
mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber
kekayaan hayati laut;
(b) untuk
mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka bertalian dengan
perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut;
(c) untuk
mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah mereka dan untuk bersama-sama
dimana perlu mengadakan program bersama riset ilmiah di kawasannya;
(d) untuk
mengundang, menurut keperluan, Negara lain yang berminat atau organisasi
internasional untuk bekerjasama dengan mereka dalam pelaksanaan lebih lanjut
ketentuan pasal ini.
Asas
laut tertutup atau setengah tertutup ini membolehkan suatu negara untuk
meguasai daerah laut, namun dalam peiode tertentu. Berbeda dengan pernyataan Hugo De Groot tentang azas laut bebas (mare liberium) yang
menyatakan bahwa keberadaan laut bebas berhak untuk dieksploitasi oleh siapa
saja tetapi tidak dapat dimiliki oleh siapapun juga.
B. BATAS-BATAS, ZONA DAN WILAYAH ATAU KAWASAN LAUT YANG TERMASUK KEDALAM LAUT
TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP
Berdasarkan isi dari
pasal 122 konvensi PBB di atas, yang termasuk kedalam wilayah laut tertutup
atau setengah tertutup, diantaranya adalah perairan pedalaman, laut teritorial,
perairan kepulauan, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan
kontinen.
1.
Perairan pedalaman (internal waters)
Dalam pasal 8 ayat (1) United Nations Conventions on the Law
of the Sea (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan
Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal
tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut
territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan
dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan
bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada
sisi darat dari garis air rendah
dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini
adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada
sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan
yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai
perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis
penutup mulut sungai[1].
Pendapat lain mengatakan bahwa lebar laut teritorial diukur dari
apa yang disebut “garis pangkal” dan perairan yang berada pada arah darat dari
garis tersebut
dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Dengan demikian batas laut
teritorial pada arah kedarat merupakan batas terluar dari perairan pedalaman
suatu negara[2].
2. Laut
teritorial
adalah wilayah
kedaulatan suatu negara
pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya; sedangkan bagi suatu
negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang,
danFilipina, laut teritorial meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan
dengannya perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut
teritorial pengertian
kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut
dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan
menurut ketentuan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United
Nations Convention on the Law of the Sea) lebar
sabuk perairan pesisir ini dapat diperpanjang paling banyak dua belas mil laut
(22,224 km) dari garis pangkal (baseline-sea)[3].
3. Perairan kepulauan (archipelagic waters)
Untuk menetapkan lebar laut teritorial, zona
tambahan, ZEE dan jarak terjauh dari landas kontinen pada negara kepulauan
dapat digunakan tiga garis pangkal utama, yaitu :
·
Garis
pangkal biasa (normal baseline)
·
Garis
pangkal lurus (straight baseline)
·
Garis
pangkal kepulauan (archipelagic baseline)
Namun dalam praktiknya paling banyak
digunakan garis pangkal kepulauan, apabila suatu negara kepulauan menggunakan
garis ini untuk menetapkan lebar laut teritorial, maka akan terdapat suatu
perairan yang tertutup oleh garis pangkal kepulauan, tanpa memandang kedalaman
laut atau jaraknya dari pantai. Perairan ini disebut perairan kepulauan
(archipelagic waters)[4].
4. Zona tambahan (contiguous zone)
Zona tambahan adalah suatu zona yang
berbatsan dengan laut teritorial, dan lebarnya tidak melebihi 24 mil laut yang
diukur dari garis pangkal. Berdasarkan pada ketentuan ini, maka status hukum
perairan yang dinamakan zona tambahan berada 12 mil di laut teritorial dan 12
mil berada di ZEE[5].
Di zona tambahan negara pantai dapat
melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk :
a)
Mencegah
pelanggaran peraturan perundang-undangan bea-cukai, fiscal, imigrasi atau
sanitasi di dalam wilayah atau laut teritorialnya
b)
Menghukum
pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan di
dalam wilayah laut atau laut teritorialnya[6].
5. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif diartikan sebagai
suatu daerah diluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil
diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial
(pasal 55 dan 57). Menurut pengertian pasal 56, di zona ekonomi eksklusif
negara pantai dapat menikmati :
a)
Hak-hak
berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan segala sumber kekayaan alam didasar laut dan tanah di bawahnya
serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan yang
ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti
produksi energi dari air, arus dan angin).
b)
Yurisdiksi,
sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan
pulau-pulau buatan, riset alamiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut.
c)
Hak-hak
dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi.
Perlu dicatat bahwa, berlainan dengan laut
teritorial, zona ekonomi eksklusif tidak tunduk kepada kedaulatan penuh negara
pantai. Negara pantai “hanya” menikmati hak-hak berdaulat dan bukan kedaulatan[7].
6. Landas kontinen
Tentang landas kontinen, terdapat dua
pengertian berbeda dari dalam dua konvensi, yaitu KHL PBB 1982 dan KHL Jenewa
IV 1958.
a)
Landas
kontinen menurut KHL PBB 1982 diatur dalam Bab VI pasal 76-85, definisinya
sebagai berikut :
Landas
kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari
daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya
sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar kontinen,
atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut
teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak
tersebut[8].
b)
Landas
kontinen menurut KHL Jenewa IV 1958 diatur dalam pasal 1-15, definisinya
sebagai berikut :
Istilah landas
kontinen digunakan untuk menunjuk (a) dasar laut dan tanah di bawah laut yang
berdampingan dengan pantai tapi berada diluar wilayah lau teritorialnya, sampai
kedalaman 200 meter, atau melebihi batas itu, dimana kedalaman perairan yang
berdampingan itu memungkinkan untuk eksploitasi sumber-sumber kekayaan di
daerah tersebut. (b) dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdampingan dengan
pantai dari pulau-pulau.
Apabila kedua pengertian landas kontinen
tersebut di atas kita bandingkan, maka terdapat beberapa perbedaan sebagai
berikut :
a.
KHL
Jenewa IV 1958 :
1)
Letak
landas kontinen berada diluar laut teritorial (3,4 atau 6 mil) sampai kedalaman
200 meter atau lebih dimana masih dimungkinkan eksploitasi sumber-sumber
kekayaan alam
2)
Setiap
pulau-pulau memilki landas kontinen sendiri-sendiri.
b.
KHL PBB
1982 :
1)
Letak
landas kontinen berada di luar laut teritorial (max 12 mil)
2)
Batas luar
landas kontinen bervariasi, yaitu pinggiran tepi kontinen (batas geologi), atau
berdasarkan jarak yaitu 200 mil dari garis pangkal, 100 mil dari kedalaman laut
2500 meter, atau tidak boleh melibihi 350 mil laut dari garis pangkal yang
digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial
3)
Untuk
negara pantai landas kontinen diukur dari garis pangkal, yaitu garis pangkal
normal, lurus, garis lurus dan garis penutup
4)
Untuk
negara kepulauan landas kontinen diukur dari garis pangkal kepulauan, garis
pangkal normal dan garis pangkal lurus[9].
Di bawah adalah gambar untuk batas-batas wilayah laut !
C. KONFLIK YANG TERJADI DI ZONA MARITIM DIBAWAH KEDAULATAN NEGARA
Konflik Laut Cina Selatan
A Latar Belakang
Berawal pada bulan April tahun 1988 ketegangan terjadi di
kepulauan Spratly antara Vietnam denganRepublik Rakyat Cina (RRC).
Angkatan Laut Vietnam dihalang-halangi oleh dua puluh kapal perang RRC
yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan sehingga terjadi bentrokan. Bentrokan
antara RRC dan Vietnam ini merupakan bagian dari bentrokan bersenjata yang
terjadi sebulan sebelumnya yang mengakibatkan hilangnya 74 tentara
Vietnam. Sejak saat itu, peristiwa ini kemudian dikenal sebagai
peristiwa 14 Maret 1988.
Sebenarnya Pertikaian di
kepulauan Spartly sudah berlangsung sejak lama dan aktor
yang berperan di dalamnya pun tidak hanya Vietnam dan RRC, tetapi
juga melibatkan dua negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filipina, serta
Taiwan. Karena klaim-klaim tersebut bisa berdasarkan klaim atas
sejarah yang beraneka ragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan
geostrategis negara-negara yang terlibat. Selain itu, Zona Ekonomi
Eksklusif
(ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan
saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah dalam penentuan
batas. Klaim kepemilikan sejumlah
pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan juga memperbesar
permasalahan ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut
teritorial atau Landas Kontinen.
Dilihat dari peta biasa kemungkinan orang tidak akan menemukan nama
kepulauan Spratly. Spratly merupakan sebuah gugusan pulau-pulau kecil
dan pulau-pulau karang yang
jumlahnya kira-kira sekitar 600-an. Sedangkan 100-an
diantaranya sering tertutup permukaan air laut jika sedang
pasang. Berdasarkan peta klaim yang dikeluarkan
masing-masing negara yang terlibat, nama kepulauan
Spartly akan berbeda-beda. Seperti Filipina
menyebutnya denganKalayaan (tanah kebebasan),Vietnam menyebutnya
dengan Dao Truong Sa, sedangkan Cina menyebutnya dengan Nansha
Qundao. Perbedaan nama tersebut dimaksudkan agar kepulauan
tersebut diklaim sebagai milik negara yang memberikan
nama. Namun, nama internasional yang lazim diberikan kepada gugusan
pulau itu ialah Spratly. Letaknya di sebelah Utara Sabah lebihcondong ke
arah Barat Laut dan di sebelah Barat daya Filipina.
Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan
atas kepulauan Spartly. Persoalannya menjadi semakin
krusial karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih yang
disebabkan masing-masing negara mengklaim kepemilikannya yang
berdasarkan versinya sendiri, baik secara historis
maupun secara legal formal (tertulis), serta proses
penguasaan dandasar argumentasi yang dikemukakan masing-masing negara itu untuk
menguasai gugusan pulau yang terdapat di Spratly.
B. Tentang Kepulauan Spratly
Terdapat enam negara yang mengklaim kepemilikan atas Kepulauan Spratly
yaitu Cina, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan dan Malaysia.
Berdasarkan hukum laut ZEE, dari ke enam negara tersebut sebenarnya hanya
Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina
yang berhak atas kepemilikan dan pengelolaan kepulauan Spartly, karena
hanya ketiga negara tersebut yang Zona Ekonomi Eksklusifnya mencapai Kepulauan
Spratly. Status kepemilikan kepulauan tersebut tidak terlepas dari hukum atau
peraturan yang ada mengenai kelautan.
Ahli kelautan Hugo De Groot pada tahun 1609 memperkenalkan azas kelautan
yang kemudian dikenal dengan azas laut bebas (mare
liberium) yang menyatakan bahwa keberadaan laut bebas berhak untuk
dieksploitasi oleh siapa saja tetapi tidak dapat dimiliki oleh siapapun
juga. Kemudian atas dasar inilah, Kepulauan Spratly tidak dibenarkan untuk
dimiliki oleh negara manapun, karena akan bertentangan dengan azas laut bebas
tersebut. Namun seratus tahun kemudian, muncullah azas baru yang kemudian
dikenal dengan azaslaut tertutup (mare clausum) yang
menyatakan bahwa laut dapat dikuasai oleh suatu bangsa dan negara saja pada
periode tertentu.
Secara umum, Kepulauan Spratly memang rawan memiliki potensi untuk
terjadinya konflik terutama disebabkan oleh beberapa hal berikut; tempat yang
strategis yang dan menyangkut kepentingan beberapa negara, konfrontasi sejarah
yang panjang antar negara-negara pengklaim, adanya beberapa klaim kepemilikan
yang tumpang tindih, dan perebutan sumber daya alam serta konflik yang paling
dominan adalah terjadinya bentrokan senjata antara Cina dan Vietnam pada tahun
1988. Inti permasalahannya adalah adanya ketidakpastian hak kepemilikan atas
pulau-pulau dan perairan di sekeliling wilayah kepulauan Spartly.
C. Sudut Pandang Hukum Internasional atas Kepulauan Spratly
Jika diihat dari sudut pandang hukum internasional atas kalim kepulauan
Spartly, maka kita bisa mengacu kepada hukum laut internasional, yaitu UNCLOS (United
Nations Convention
on the Law of the Sea) 1982. Ada beberapa pasal
yang terdapat dalam hukum UNCLOS yang berkaitan dengan klaim kepemilikan
kepulauan Spartly, yaitu :
1. Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai garis tengah dalam
penetapan batas dua negara pantai
“Untuk menentukan garis tengah wilayah laut dua negara yang berhadapan
atau bersebelahan, maka diukur dari jarak tengah dari masing-masing titik
terdekat garis pantai masing-masing negara . . .”
2. Pasal 76 UNCLOS 1982 mengenai Landas Kontinen
“Batas terluar landas kontinen suatu negara pantai dinyatakan sampai kedalaman
200 mil laut atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang memungkinkan
dilakukannya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam . . .”]
3. Pasal 122 UNCLOS 1982 mengenai Laut Setengah Tertutup
“Laut Tertutup atau Setengah Tertutup yang berarti suatu daerah laut
yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya
atau samudera, oleh suatu alur laut yang sempit atau terdiri seluruhnya atau
dari laut territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif dua atau lebih negara pantai.”
4. Pasal 289 UNCLOS 1982 mengenai penentuan penetapan batas
wilayah
“Penetapan batas wilayah sebaiknya dengan melakukan perjanjian
internasional yang disepakati negara-negara, dan penggunaan hak sejarah dapat
digunakan asalkan tidak mendapat pertentangan dari negara lain . . .”
5. Pasal 279, 280, 283, dan 287 UNCLOS 1982 mengenai penyelesaian
sengketa
Pasal-pasal tersebut diatas menjelaskan mengenai kewajiban dari setiap
pihak yang bertikai untuk menyelesaikan sengketa dengan cara-cara yang damai.
D. Kronologis Sejarah Klaim Cina
Cina yang lebih dikenal sebagai Negeri Tirai Bambu merupakan satu-satunya
negara pengklaim kepulauan Spartly sampai dengan Perang Dunia I. Berikut
merupakan kronologis langkah-langkah yang telah dilakukan Cina dalam upayanya menegaskan
kedaulatannya atas Kepulauan Spratly:
Dimulai pada tahun 1883: Cina memprotes ekspedisi Jerman ke Kepulauan
Spratly
Tahun 1887: Cina membuat perjanjian perbatasan dengan Perancis (Vietnam
merupakan protektorat Perancis)
Tahun 1930-1945: Kepulauan Spratly secara bergantian dikuasai oleh Jepang
dan Perancis
Tahun 1946: Cina mengirim pasukan kapal perangnya untuk menduduki
Kepulauan Spratly
Tahun 1947: Cina memasukkan wilayah Kepulauan Spratly kedalam Provinsi
Guangdong
Tahun 1949: Pemerintah Komunis Cina menegasan klaim atas seluruh Kepulauan
Spratly
Tahun 1951: Perdana Menteri Chou En Lai membuat pernyataan akan kepemilikan
Kepulauan Spratly
Tahun 1958: Cina mengesahan deklarasi mengenai batas Perairan Teritorial
Tahun 1988: Cina membangun kawasan Fiery Cross Reef yang
juga diklaim oleh Vietnam
Tahun 1992: Cina membuat Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Zona
Tambahan
Tahun 1995: Cina membuat Peta Maritim hingga ke wilayah Natuna Indonesia
Tauhun 1996: Cina mengesahkan undang-undang batas perairan teritorialny
E. Faktor-faktor yang Mendasari Kebijakan Klaim Cina
Klaim Cina untuk mendapatkan kepulauan Spratly adalah berdasarkan sejarah
negaranya dan garis batas maritim tradisional. Negara yang beribukotakan di
Beijing ini tidak menggunakan acuan UNCLOS 1982 dalam mempertegas klaimnya
dikarenakan keadaan fisik wilayahnya yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang
ditetapkan. Atas dasar inilah Cina mengemukakan klaimnya berdasarkan aspek
sejarah dan juga berdasarkan garis maritim tradisionalnya seperti ditunjukkan dalam peta batas territorial laut Cina
dengan tanda sembilan garis putus-putus pada tahun 1947.
Kebijakan yang cukup bertentangan dengan UNCLOS 1982 adalah undang-undang
terbarunya, yaitu undang-undang Maritim yang disahkannya pada tanggal 15 Mei
1996 yang berisikan tentang batas perairan teritorialnya yang ditarik dari
garis pantai di sepanjang daratan Cina dan Kepulauan Paracel di sebelah utara
Laut Cina Selatan, dengan menggunakan prinsip garis dasar lurus dan garis dasar
negara kepulauan. Undang-undang ini mengindikasikan Cina untuk memasukkan
Spratly dan Paracel ke dalam wilayah maritimnya seluas 200 mil dari laut. Untuk
mewujudkan ambisinya, Cina menghubungkan wilayah daratan negaranya dengan Pulau
Hainan, lalu menerapkan garis dasar negara kepulauan di sekeliling Kepulauan
Paracel. Hal ini bertolak belakang dengan UNCLOS, karena sejalan dengan
ketentuan didalamnya Kepulauan Paracel tidak dapat diartikan sebagai kepulauan,
karena tidak memenuhi kriteria kepulauan seperti yang tercantum dalam UNCLOS.
Faktor lain yang cukup beralasan adalah kepentingan nasionalnya untuk
mempertahankan wilayah kedaulatannya yang sedemikian luas agar tetap
terintegrasi sehingga dapat memperkuat daya saing negaranya di kancah
internasional. Ambisi ini semakin meruncing semenjak berakhirnya Perang Dingin
dimana dua kekuatan utama dunia, Amerika Serikat dan Uni Sovyet mulai
meredup. Dalam hal ini Cina ingin tampil sebagai pusat kekuatan baru yang
bisa diperhitungkan.
Selain faktor-faktor diatas, Negeri Tirai Bambu ini juga haus akan sumber
daya alam yang terkandung didalamnya dimana kawasan ini dinilai mempunyai
cadangan kandungan mineral yang melimpah seperti hidrokarbon, tembaga, fosfat,
dan terutama minyak bumi. Alasan ini sangat logis karena selama ini Cina selalu
kekurangan sumber-sumber daya alam mineral di daratan untuk menunjang
pembangunan industrinya serta untuk menunjukkan supremasinya sebagai negara
besar dengan indikator perekonomian yang maju.
F. Peran diplomasi ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik Kepulauan Spratly
ASEAN merupakan organisasi kawasan di Asia Tenggara memegang peranan
penting dalam menjaga stabilitas keamanan di Asia Pasifik. Dalam konflik ini
terdapat dua negara anggota ASEAN yang terlibat, yaitu Malaysia dan Filipina.
Oleh karena itu ASEAN harus ikut terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah
yang mengikutsertakan 2 anggotanya. Dalam
hal ini ASEAN berupaya menggunakan soft power melalui
sebuah diplomasi yang kemudian dikenal dengan istilah diplomasi bersama.
Diplomasi ini dalam bentuk mengadakan sebuah forum dialog pada tingkat
multilateralisme dengan kebijakannya menggandeng Cina ke dalam forum tersebut.
Pelibatan Cina sebagai pihak yang dianggap sebagai ancaman di kawasan adalah
salah satu bentuk diplomasi preventif dalam dialog yang digagas ASEAN. Forum
internasional itu bertemakan ASEAN Regional Forum (ARF) yang
beranggotakan 10 negara anggota ASEAN yang kemudian ditambah Negara Amerika
Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Rusia, Uni Eropa, Selandia
Baru, serta Cina.
Tujuan ASEAN membentuk forum ini yaitu: pertama, adanya peluang konflik
antar negara yang disebabkan oleh pergeseran kekuasaan sebagai akibat dari
pembentukan ekonomi yang pesat. Kedua, sikap keanekaragaman dalam kawasan
menyebabkan perbedaan pendekatan terhadap masalah perdamaian dan keamanan.
Serta yang ketiga adalah konflik teritorial dan pertikaian yang menyangkut hal
lain antar negara yang belum terselesaikan.
ASEAN juga prakarsa atas adanya sebuah forum khusus yang mengagendakan
masalah Kepulauan Spratly sebagai agenda pembahasan yaitu dalam forum ASEAN-Cina
Senior Officials Consultation (ACSOC). Forum ini berlangsung pada
bulan April 1995 dan berakhir pada tahun 2002. Dalam
forum ini ASEAN bermaksud untuk mengatur tindakan Cina sebagai negara pengklaim
Kepulauan Spratly terbesar dan terkuat.
Upaya diplomasi ketiga yang ditempuh ASEAN adalah dengan membentuk code
of conductantar pihak yang terlibat persengketaan serius dalam klaim
kawasan kepulauan Spartly. Isi dari code of conduct tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Sengketa territorial
diantara kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi dalam perkembangan hubungan
normal diantara mereka. Sengketa akan diselesaikan dengan cara damai dan
bersahabat melalui diplomasi konsultasi yang berdasarkan persamaan dan sikap
saling menghormati.
2. Harus diambil upaya
untuk membangun sikap saling percaya diantara kedua belah pihak untuk
memperbaiki suasana perdamaian dan stabilitas di kawasan, dan untuk menahan
diri dari penggunaan kekuatan atau ancaman untuk menggunakan kekuatan militer
dalam menyelesaikan sengketa.
3. Dengan semangat untuk
mencari titik persamaan dan mengurangi perbedaan, proses kerjasama bertahap dan
progresif akan diambil, dengan mempertimbangkan perundingan untuk menyelesaikan
sengketa kawasan tersebut.
4. Kedua belah pihak
sepakat untuk menyelesaikan pertikaian sesuai dengan UNCLOS 1982.
5. Kedua belah pihak
sepakat untuk bersikap terbuka atas prakarsa dan usulan konstruktif dari
negara-negara di kawasan untuk membangun kerjasama multilateral di Laut Cina
Selatan pada waktu yang tepat.
6. Saling mendorong
kerjasama di bidang perlindungan kelautan, pencegahan, penanggulangan
kecelakaan, operasi SAR (Search and Rescue), meteorology dan
penanggulangan potensi konflik.
7. Kedua belah pihak
harus bekerjasama untuk melindungi dan mengkonversi sumber-sumber daya di Laut
Cina Selatan.
8. Perselisihan akan
dilaksanakan oleh negara-negara yang terlibat secara langsung tanpa mengganggu
kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan[1].
BAB III
PENUTUP
# Kesimpulan
Banyak hal yang dapat
dibahas mengenai laut, karena laut itu merupakan perairan yang asin membentang
dengan luas keseluruh penjuru bumi, menghubungkan pulau ke pulau dan menjadi
sumber kekayaan alam yang sangat berlimpah. Berbagai jenis hasil laut dapat diperoleh
dengan mudah dan dapat dikelola serta dibudidayakan agar selalu terjaga
ekosistemnya untuk masa yang akan datang.
Tidak sedikit juga
konflik-konflik sampai menimbulkan peperangan antar negara karena ingin
menguasai laut yang dirasa sangat strategis, seperti konflik di Laut Cina
Selatan. Yang melibatkan banyak negara khususnya Cina dan beberapa negara
Asean. Ada lagi tindak pidana yang terjadi di perairan seperti perompakan,
eksploitasi besar-besaran, pasar gelap, dan lain-lain.
Hal tersebut yang melatarbelakangi
terjadinya berbagai perjanjian-perjanjian atau konvensi tentang laut, itu semua
demi kelestarian sumber daya alam (laut) dan menjaga hubungan setiap umat
manusia dalam mengolah hal tersebut. Di jaman yang modern seperti sekarang,
sudah banyak hasil-hasil dari konferensi yang pernah diadakan, seperti : KHL
Jenewa IV 1958, KHL PBB 1982, dan lainnya. Maka dihasilkanlah pembatasan
terhadap wilayah laut demi menjaga kedaulatan suatu negara pantai agar
ditetapkan pula dimana negara tersebut berhak menjalankan yurisdiksinya. Dari
yang mulanya penentuan laut teritorial dengan jarak 3 mil sekarang berubah
menjadi 12 mil diukur dari garis pangkal. Dan seterusnya ada pula zona tambahan
24 mil dan zona ekonomi eksklusif 200 mil yang juga diukur dari garis pangkal
sama seperti mengukur laut teritorial suatu negara.
Tentunya masih banyak lagi materi yang perlu dibahas
tentang kelautan, namun karena yang menjadi pokok bahasan adalah laut tertutup
atau setangah tertutup jadi, tidak banyak yang dapat saya berikan dalam tulisan
ini. Akhir kata saya ucapkan terimakasih, saran dan kritikan sangat saya
harapkan demi menambah wawasan saya tentang laut.
Daftar
Pustaka
1. Brierly,
J.L., 1996. Hukum Bangsa Bangsa, cetakan I, PT Bharata, Jakarta.
2. P.
Joko Subagyo, 1985. Perkembangan Hukum Laut, Jakarta: Ghalia Indonesia.
3. P.
Joko Subagyo (2009). Hukum Laut Indonesia , cetakan IV, Jakarta: PT Rineka
Cipta.
4. Koers,
A.W., 1994. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut, Suatu
Ringkasan, cetakan II, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
5. Mochtar Kusumaatmadja, 1967. Pengantar Hukum
Internasional, Bandung: Bina Cipta.
Literatur
dari internet :
[1] Lihat di
http://hukummaritim.wordpress.com/2012/09/10/2-perairan-pedalaman.
[2] Koers,
Albert W, 1994. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.Gadjah
Mada Unversity Press, Yogyakarta.hlm.5.
[3] Pasal 4
UNCLOS 1982
[4] Tahar,
Abdul Muthalib,2013. Hukum Internasional dan Perkembangannya.Pusat Kajian
Konstitusi dan Peraturan Peundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Lampung.hlm.74.
[5] Loc.cit.
[6] Lihat
KHL 1982 pasal 33.
[7] Koers,
Albert W, Op.cit., hlm.8
[8] Lihat
pasal 76 ayat 1.
[9]
Tahar, Abdul Muthalib , op.cit.,hlm.79.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar