Selasa, 14 April 2015

Zona Maritim Menurut Unclos 1982



BAB I
PENDAHULUAN   
      A.    Kelautan
Wilayah suatu negara selain kita kenal udara dan darat juga ada laut. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara tertentulah yang mempunyai wilayah laut yaitu negara di mana wilayah daratnya berbatasan dengan laut.
Laut adakalanya merupakan batas suatu negara dengan negara lain dengan titik batas yang ditentukan melalui ekstradisi bilateral atau multilateral yang berarti pula merupakan batas kekuasaan suatu negara, sejauh garis terluar batas wilayahnya.
Dalam perkembangan hukum internasional, batas kekuasaan yang merupakan batas wilayah suatu begara sangat dipegang erat, pelanggaran terhadap wilayah suatu negara dapat berakibat fatal bahkan dapat menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan berakibat peperangan. Dengan batas wilayah dituntut hubungan yang baik bagi setiap negara dan perjanjian-perjanjian yang diciptakan perlu ditaati agar tidak merugikan kepentingan negara lain.
Penentuan batas wilayah yang meliputi kelautan di dalam perbuatannya selalu memperhatikan bentuk konsekuensi dan pertimbangan lain sehingga kepentingannya sama-sama berjalan. Dalam pertimbangan secara umum dapat memperhatikan :
1.  Keadaan geografi
      2.  Strategi (keuntungan dan kerugian dalam pertahanan dan keamanan)
3.  Kesamarataan (tingkatan)
Bagi negara-negara yang wilayahnya berbatasan dengan wilayah negara lain batasnya tidak ditentukan secara sepihak, melainkan memperhatikan :
1.   Historinya, dan
2. Perjanjian yang dilakukan
Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan yang bersifat internasional, apabila hanya memperhatikan sejarah/historinya saja masih banyak menimbulkan permasalahan.

Dalam sejarah hukum internasional, selalu mengupayakan penetapan batas laut teritorial yang berlaku secara universal dengan memberikan catatanbagi negara-negara pantai dan pelintas. Semula batas teritorial suatu negara ditentukan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam praktik ketatanegaraan yang bersangkutan dengan memperhatikan kepentingan negara lainnya[1].
Penentuan batas laut demikian sangatlah subyektif dan tidak mustahil hanya kepentingan sendirilah yang diutamakan sehingga di dalam penentuan batasnya disesuaikan kepentingan masing-masing. Bagi hukum internasional banyak menimbulkan keresahan-keresahan khususnya bagi negara pelintasnya, karena dalam penyelesaiannya tidak dapat diterapkan ketentuan yang bersifat umum universal.
Upaya yang dilakukan untuk membentuk dan melahirkan ketentuan yang dapat diterapkan secara internasional terus dilakukan dengan melihat gambaran keadaan praktik penentuan batas wilayah laut dari masing-masing negara pantai.
1.   Pada tahun 1936 telah diadakan konferensi kodifikasi di Den Haag  
2.  Pada tahun 1939, dikeluarkan ordonansi yang mengatur batas lebar laut teritorial sejauh 3 mil.
          3.  Pada tahun 1958, diadakan konferensi hukum laut di Jenewa belum mampu menghasilkan kesepakatan internasional dalam jarak 3 mil laut.
4.  Pada tahun 1960, diadakan konferensi Jenewa (Hukum Laut II) belum menghasilkan kesepakatan.    
      5.  Pada tahun 1974, diadakan konferensi Hukum Laut di Caracas Venezuela yang menentukan jarak wilayah laut teritorial sejauh 12 mil. 
      6.Pada tahun 1982, diadakan konferensi Hukum Laut III (UNCLOS) dan diperoleh kesepakatan bersama dalam jarak 12 mil laut.
Ketentuan yang dikeluarkan ini dimaksudkan agar berlaku secara umum sepanjang dapat diterapkan pada kondisi wilayah laut suatu negara, kecuali bagi negara-negara pantai yang wilayah lautnya tidak memenuhi batas yang ditentukan, mengingat batas-batas yang dimaksud merupakan batas maksimal yang didapat dimanfaatkan oleh negara pantai. Apabila dijumpai keadaan batas kurang dari yang dotentukan sebagai kesepakatan internasional, maka penyelesaian dilakukan melalui perundingan.
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, mengungkapkan adanya peristiwa perikanan Inggris dengan Norwegia (Anglo Norwegian Fisheries Case) bahwa penetapan batas laut teritorial merupakan tindakan sepihak yang sepenuhnya menjadi wewenang suatu negara, namun untuk keabsahannya menurut hukum internasional perlu diperhatikan beberapa hal sebagai pertimbangan pokok, antara lain :
1    -      Eratnya hubungan laut teritorial dengailayah darat.
      -    Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam garis pangkal cukup erat hubungannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada ketentuan-ketentuan negara perairan pedalaman.
3     -      Kepentingan-kepentingan ekonomi setempat yang khas didasarkan atas adanya kebiasaan-kebiasaan yang cukup lama[2].
Hal ini bermakna tidak ada wilayah yang tidak berbatasan dengan daratan menjadi wilayah wilayah suatu negara, selain itu dari segi sejarah cukup penting untuk menentukan luasnya/panjangnya jarak laut dengan daratannya yang merupakan wilayah suatu negara.
Indonesia dengan bentuk geografinya sebagai negara kepulauan yang membentang beribu-ribu pulau dengan corak beraneka ragam dan cirinya sendiri-sendiri, maka untuk menjaga keutuhan teritorial serta perlindungan kekayaan alam perlu semua pulau/kepulauan harus berada dalam keutuhan/kesatuan bulat. Berdasarkan pertimbangan itu, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa, segala perairan disekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau merupakan wilayah teritorial negara Indonesia.
Dengan pertimbangan dan alasan-alasan logis di atas pulau-pulau yang tersebar secara terpisah satu sama lainnya pada dasarnya merupakan satu unit dan terpisah karena perubahan alamiah.
Kebijakan yang ditempuh dengan tetap mempertahankan dan memperhatikan kepentingan-kepentingan negara-negara lain, maka lautan yang terletak diantara pulau-pulau merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari daratan. Kemudian dalam perkembangan

ditetapkannya wawasan nusantara sebagai konsepsi kesatuan wilayah, bangsa dan negara dengan memandang Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi tanah (darat), udara di atasnya dan laut secara tidak terpisah, meliputi segala bidang kehidupan :
1.   Politik
      2.   Ekonomi
      3.   Budaya
      4.     Hankam
Kesatuan yang ditempuhnya memandang wilayah-wilayah tersebut menjadi kekuasaannya dengan kedaulatan penuh yang melekat pada wilayah tersebut, sehingga dapat menghindari bentuk-bentuk ancaman yang berasal dari luar yang dapat mengganggu stabilitas dan keutuhan negara.

      B.     Perkembangan wilayah kelautan
Dewasa ini, dengan hasil dari beberapa konvensi tentang hukum laut yang semula hanya menganut batas laut teritorial sejauh 3 mil yang kemudian berkembang dan melalui konvensi hukum laut  internasional, jarak tersebut diperpanjang 4 – 6 mil, namun belum dapat diberlakukan secara universal baru pada tahun 1982 telah ditelorkan kesepakatan bersama baik oleh negara pantai maupun tidak berpantai, bahwa lebar laut teritorial maksimal 12 mil.
Menilik sejarah, negara Indonesia yang cukup dikenal wilayahnya merupakan kumpulan dari pulau-pulau besar dan kecil, dalam praktik ketatanegaraannya telah memperlakukan ketentuan selebar 12 mil. Di mana tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan “Deklarasi H. Djuanda” :
"Bahwa perairan disekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari Negara Republik Indonesia."
Dikeluarkannya deklarasi ini, dimaksudkan untuk menyatukan wilayah Indonesia yang terpecah-pecah sehingga deklarasi akan menutup adanya lautan bebas yang berada di antara pulau-pulau wilayah daratan.

      C.     Kekayaan laut dan pengelolaannya
Semakin disadari bahwa laut selain berfungsi sebagai penghubung wilayah satu dan lainnya dalam memperlancar hubungan transportasi, juga kekayaan yang terkandung di dalamnya sangat menopang hidup dan kehidupan rakyat banyak. Namun dengan potensi kekayaan yang ada dapat menimbulkan bencana apabila dalam pengelolaannya tanpa memperhatikan batas kemampuan alam.
Sebenarnya laut telah lama diupayakan orang atau sekelompok orang sebagai lahan yang bertaraf nasional bahkan internasional. Wilayah laut yang diupayakan tersebut selain berupa perairan pedalaman teritorial juga wilayah perikanan di Zona Ekonomi Eksklusif. Dari masing-masing wilayah tersebut, khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif, pemerintah Indonesia tidak mempunyai kedaulatan secara penuh kecuali yang berkaitan dengan masalah ekonomi, sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1983.
Dalam abad modern ini pengelolaan dan penagkapan ikan dilengkapi dengan peralatan yang cuku modern, tidak lagi penagkapan yang dilakukan secara tradisional. Namun dampak yang cukup dirasakan dari kegiatan pengelolaan tersebut adalah pengaruhnya terhadap ekosistem/lingkungan laut, terutama apabila pengelolaannya tanpa memperhatikan ketentuan dan persyaratan yang diwajibkan. Dalam penentuan persyaratan sudah diperhitungkan kapasitas dan kualitas lingkungan laut, sehingga pelanggaran terhadap persyaratan yang diwajibkan bisa dicegah.
Sumber daya alam (laut) yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat banyak, pengelompokannya dapat dibedakan dalam 2 jenis :
1      1.      Hayati
2      2.      Non hayati.
Sumber daya alam hayati yang dimaksud berupa pembudidayaan ikan maupun makhluk hidup laut lainnya yang berada di perairan pedalaman, laut teritorial ataupun ZEE. Yang dalam hal ini hanya jenis-jenis ikan tertentu yang diizinkan untuk dilakukan penagkapan, hal ini dimaksud untuk membina kelestarian sumber daya ikan.
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pembudidayaan sumber alam selain di bidang hayati juga non hayati. Untuk non hayati yang cukup besar pembudidayaan laut dalam bentuk
eksplorasi atau eksploitasi minyak dan gas bumi. Dalam sejarahnya, pembudidayaan tersebut secara intensif mulai dikerjakan pada tahun 1984 dengan mengupayakan untuk kemakmuran rakyat banyak.


[1] P. Joko Subagyo, Perkembangan Hukum Laut, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985)hlm.31.
[2] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Bina Cipta, 1967)hlm.71 buku I.



BAB II
PEMBAHASAN
      A.    PENGERTIAN LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP
Di dalam konvensi perserikatan bangsa-bangsa tentang hukum laut, bab IX tentang
laut tertutup atau setengah tertutup (enclosed or semi-enclosed)
, pasal 122,
dijelaskan bahwa:
untuk maksud konvensi ini. "laut tertutup atau setengah tertutup" berarti suatu teluk, lembah laut (basin), atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur yang sempit atau yang terdiri seluruhnya atau terutama dari laut teritorial dan zona ekonomi eksklusifnya dua atau lebih negara pantai.
Konvensi ini menganjurkan untuk setiap negara yang berbatasan denga  laut tertutup atau setengah terututup untuk mengadakan kerja sama mengenai pengelolaan, konversi sumber kekayaan alam hayati dan perlindungan serta pelestarian lingkungan laut tersebut, seperti yang dijelaskan dalam pasal 123 tentang kerja sama antara negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup, yang berbunyi :
 Negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup hendaknya bekerjasama satu sama lainnya dalam melaksanakan hak dan kewajibannya berdasarkan Konvensi ini. Untuk keperluan ini mereka harus berusaha secara langsung atau melalui organisasi regional yang tepat :
(a)     untuk mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan hayati laut;
(b)     untuk mengkoordinasikan pelaksanaan hak dan kewajiban mereka bertalian dengan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan laut;
(c)     untuk mengkoordinasikan kebijaksanaan riset ilmiah mereka dan untuk bersama-sama dimana perlu mengadakan program bersama riset ilmiah di kawasannya;
(d)     untuk mengundang, menurut keperluan, Negara lain yang berminat atau organisasi internasional untuk bekerjasama dengan mereka dalam pelaksanaan lebih lanjut ketentuan pasal ini.
Asas laut tertutup atau setengah tertutup ini membolehkan suatu negara untuk meguasai daerah laut, namun dalam peiode tertentu. Berbeda dengan pernyataan Hugo De Groot tentang azas laut bebas (mare liberium) yang menyatakan bahwa keberadaan laut bebas berhak untuk dieksploitasi oleh siapa saja tetapi tidak dapat dimiliki oleh siapapun juga.

      B.     BATAS-BATAS, ZONA DAN WILAYAH ATAU KAWASAN LAUT YANG TERMASUK KEDALAM LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP
Berdasarkan isi dari pasal 122 konvensi PBB di atas, yang termasuk kedalam wilayah laut tertutup atau setengah tertutup, diantaranya adalah perairan pedalaman, laut teritorial, perairan kepulauan, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landasan kontinen.
1.      Perairan pedalaman (internal waters)
Dalam pasal 8 ayat (1)  United Nations Conventions on the Law of the Sea  (UNCLOS 1982) disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan dalam pasal 3 (4) UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah
dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian  dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.

Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah  bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan gari air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai[1].
Pendapat lain mengatakan bahwa lebar laut teritorial diukur dari apa yang disebut “garis pangkal” dan perairan yang berada pada arah darat dari garis tersebut
dinyatakan sebagai perairan pedalaman. Dengan demikian batas laut teritorial pada arah kedarat merupakan batas terluar dari perairan pedalaman suatu negara[2].

      2.      Laut teritorial
adalah wilayah kedaulatan suatu negara pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya; sedangkan bagi suatu negara kepulauan seperti Indonesia, Jepang, danFilipina, laut teritorial meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya perairan kepulauannya dinamakan perairan internal termasuk dalam laut teritorial pengertian kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya dan, kedaulatan atas laut teritorial dilaksanakan dengan menurut ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) lebar sabuk perairan pesisir ini dapat diperpanjang paling banyak dua belas mil laut (22,224 km) dari garis pangkal (baseline-sea)[3].

       3.      Perairan kepulauan (archipelagic waters)
Untuk menetapkan lebar laut teritorial, zona tambahan, ZEE dan jarak terjauh dari landas kontinen pada negara kepulauan dapat digunakan tiga garis pangkal utama, yaitu :
·         Garis pangkal biasa (normal baseline)
·         Garis pangkal lurus (straight baseline)
·         Garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline)

Namun dalam praktiknya paling banyak digunakan garis pangkal kepulauan, apabila suatu negara kepulauan menggunakan garis ini untuk menetapkan lebar laut teritorial, maka akan terdapat suatu perairan yang tertutup oleh garis pangkal kepulauan, tanpa memandang kedalaman laut atau jaraknya dari pantai. Perairan ini disebut perairan kepulauan (archipelagic waters)[4].
       4.      Zona tambahan (contiguous zone)
Zona tambahan adalah suatu zona yang berbatsan dengan laut teritorial, dan lebarnya tidak melebihi 24 mil laut yang diukur dari garis pangkal. Berdasarkan pada ketentuan ini, maka status hukum perairan yang dinamakan zona tambahan berada 12 mil di laut teritorial dan 12 mil berada di ZEE[5].
Di zona tambahan negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk :
a)      Mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea-cukai, fiscal, imigrasi atau sanitasi di dalam wilayah atau laut teritorialnya
b)      Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah laut atau laut teritorialnya[6].

       5.      Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)
Zona Ekonomi Eksklusif diartikan sebagai suatu daerah diluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (pasal 55 dan 57). Menurut pengertian pasal 56, di zona ekonomi eksklusif negara pantai dapat menikmati :
a)      Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam didasar laut dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energi dari air, arus dan angin).
b)      Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset alamiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut.
c)      Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi.


Perlu dicatat bahwa, berlainan dengan laut teritorial, zona ekonomi eksklusif tidak tunduk kepada kedaulatan penuh negara pantai. Negara pantai “hanya” menikmati hak-hak berdaulat dan bukan kedaulatan[7].
  
      6.      Landas kontinen
Tentang landas kontinen, terdapat dua pengertian berbeda dari dalam dua konvensi, yaitu KHL PBB 1982 dan KHL Jenewa IV 1958.
a)      Landas kontinen menurut KHL PBB 1982 diatur dalam Bab VI pasal 76-85, definisinya sebagai berikut :
Landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut[8].
b)      Landas kontinen menurut KHL Jenewa IV 1958 diatur dalam pasal 1-15, definisinya sebagai berikut :
Istilah landas kontinen digunakan untuk menunjuk (a) dasar laut dan tanah di bawah laut yang berdampingan dengan pantai tapi berada diluar wilayah lau teritorialnya, sampai kedalaman 200 meter, atau melebihi batas itu, dimana kedalaman perairan yang berdampingan itu memungkinkan untuk eksploitasi sumber-sumber kekayaan di daerah tersebut. (b) dasar laut dan tanah di bawahnya yang berdampingan dengan pantai dari pulau-pulau.
Apabila kedua pengertian landas kontinen tersebut di atas kita bandingkan, maka terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut :

a.       KHL Jenewa IV 1958 :
1)      Letak landas kontinen berada diluar laut teritorial (3,4 atau 6 mil) sampai kedalaman 200 meter atau lebih dimana masih dimungkinkan eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam
2)      Setiap pulau-pulau memilki landas kontinen sendiri-sendiri.
b.      KHL PBB 1982 :
1)      Letak landas kontinen berada di luar laut teritorial (max 12 mil)
2)      Batas luar landas kontinen bervariasi, yaitu pinggiran tepi kontinen (batas geologi), atau berdasarkan jarak yaitu 200 mil dari garis pangkal, 100 mil dari kedalaman laut 2500 meter, atau tidak boleh melibihi 350 mil laut dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial
3)      Untuk negara pantai landas kontinen diukur dari garis pangkal, yaitu garis pangkal normal, lurus, garis lurus dan garis penutup
4)      Untuk negara kepulauan landas kontinen diukur dari garis pangkal kepulauan, garis pangkal normal dan garis pangkal lurus[9].
Di bawah adalah gambar untuk batas-batas wilayah laut ! 



C.   KONFLIK YANG TERJADI DI ZONA MARITIM DIBAWAH KEDAULATAN NEGARA

Konflik Laut Cina Selatan

A  Latar Belakang
Berawal pada bulan April tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spratly antara Vietnam denganRepublik Rakyat Cina (RRC). Angkatan Laut Vietnam dihalang-halangi oleh dua puluh kapal perang RRC yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan sehingga terjadi bentrokan. Bentrokan antara RRC dan Vietnam ini merupakan bagian dari bentrokan bersenjata yang terjadi sebulan sebelumnya yang mengakibatkan hilangnya 74 tentara Vietnam. Sejak saat itu, peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa 14 Maret 1988. 
Sebenarnya Pertikaian di kepulauan Spartly sudah berlangsung sejak lama dan aktor yang berperan di dalamnya pun tidak hanya Vietnam dan RRC, tetapi juga melibatkan dua negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filipina, serta Taiwan. Karena klaim-klaim tersebut bisa berdasarkan klaim atas sejarah yang beraneka ragam, konsiderasi ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Selain itu, Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan saling tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah dalam penentuan batas. Klaim kepemilikan sejumlah

pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan juga memperbesar permasalahan ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut teritorial atau Landas Kontinen.
Dilihat dari peta biasa kemungkinan orang tidak akan menemukan nama kepulauan Spratly. Spratly merupakan sebuah gugusan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau karang yang jumlahnya kira-kira sekitar 600-an. Sedangkan 100-an diantaranya sering tertutup permukaan air laut jika sedang pasang. Berdasarkan peta klaim yang dikeluarkan masing-masing negara yang terlibat, nama kepulauan Spartly akan berbeda-beda. Seperti Filipina menyebutnya denganKalayaan (tanah kebebasan),Vietnam menyebutnya dengan Dao Truong Sa, sedangkan Cina menyebutnya dengan Nansha Qundao. Perbedaan nama tersebut dimaksudkan agar kepulauan tersebut diklaim sebagai milik negara yang memberikan nama. Namun, nama internasional yang lazim diberikan kepada gugusan pulau itu ialah Spratly. Letaknya di sebelah Utara Sabah lebihcondong ke arah Barat Laut dan di sebelah Barat daya Filipina.
Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas kepulauan Spartly. Persoalannya menjadi semakin krusial karena klaim-klaim tersebut saling tumpang tindih yang disebabkan masing-masing negara mengklaim kepemilikannya yang
berdasarkan versinya sendiri, baik secara historis maupun secara legal formal (tertulis), serta proses penguasaan dandasar argumentasi yang dikemukakan masing-masing negara itu untuk menguasai gugusan pulau yang terdapat di Spratly. 

B.  Tentang Kepulauan Spratly
Terdapat enam negara yang mengklaim kepemilikan atas Kepulauan Spratly yaitu Cina, Vietnam, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan dan Malaysia. Berdasarkan hukum laut ZEE, dari ke enam negara tersebut sebenarnya hanya Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina
yang berhak atas kepemilikan dan pengelolaan kepulauan Spartly, karena hanya ketiga negara tersebut yang Zona Ekonomi Eksklusifnya mencapai Kepulauan Spratly. Status kepemilikan kepulauan tersebut tidak terlepas dari hukum atau peraturan yang ada mengenai kelautan. 
Ahli kelautan Hugo De Groot pada tahun 1609 memperkenalkan azas kelautan yang kemudian dikenal dengan azas laut bebas (mare liberium) yang menyatakan bahwa keberadaan laut bebas berhak untuk dieksploitasi oleh siapa saja tetapi tidak dapat dimiliki oleh siapapun juga. Kemudian atas dasar inilah, Kepulauan Spratly tidak dibenarkan untuk dimiliki oleh negara manapun, karena akan bertentangan dengan azas laut bebas tersebut. Namun seratus tahun kemudian, muncullah azas baru yang kemudian dikenal dengan azaslaut tertutup (mare clausum) yang menyatakan bahwa laut dapat dikuasai oleh suatu bangsa dan negara saja pada periode tertentu.

Secara umum, Kepulauan Spratly memang rawan memiliki potensi untuk terjadinya konflik terutama disebabkan oleh beberapa hal berikut; tempat yang strategis yang dan menyangkut kepentingan beberapa negara, konfrontasi sejarah yang panjang antar negara-negara pengklaim, adanya beberapa klaim kepemilikan yang tumpang tindih, dan perebutan sumber daya alam serta konflik yang paling dominan adalah terjadinya bentrokan senjata antara Cina dan Vietnam pada tahun 1988. Inti permasalahannya adalah adanya ketidakpastian hak kepemilikan atas pulau-pulau dan perairan di sekeliling wilayah kepulauan Spartly.

C.  Sudut Pandang Hukum Internasional atas Kepulauan Spratly
Jika diihat dari sudut pandang hukum internasional atas kalim kepulauan Spartly, maka kita bisa mengacu kepada hukum laut internasional, yaitu UNCLOS (United Nations Convention
on the Law of the Sea) 1982. Ada beberapa pasal yang terdapat dalam hukum UNCLOS yang berkaitan dengan klaim kepemilikan kepulauan Spartly, yaitu :

1. Pasal 15 UNCLOS 1982 mengenai garis tengah dalam penetapan batas dua negara pantai
Untuk menentukan garis tengah wilayah laut dua negara yang berhadapan atau bersebelahan, maka diukur dari jarak tengah dari masing-masing titik terdekat garis pantai masing-masing negara . . .”
2. Pasal 76 UNCLOS 1982 mengenai Landas Kontinen
Batas terluar landas kontinen suatu negara pantai dinyatakan sampai kedalaman 200 mil laut atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang memungkinkan dilakukannya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam . . .”]
3. Pasal 122 UNCLOS 1982 mengenai Laut Setengah Tertutup
Laut Tertutup atau Setengah Tertutup yang berarti suatu daerah laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera, oleh suatu alur laut yang sempit atau terdiri seluruhnya atau dari laut territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif dua atau lebih negara pantai.”
4. Pasal 289 UNCLOS 1982 mengenai penentuan penetapan batas wilayah
“Penetapan batas wilayah sebaiknya dengan melakukan perjanjian internasional yang disepakati negara-negara, dan penggunaan hak sejarah dapat digunakan asalkan tidak mendapat pertentangan dari negara lain . . .”
5. Pasal 279, 280, 283, dan 287 UNCLOS 1982 mengenai penyelesaian sengketa
Pasal-pasal tersebut diatas menjelaskan mengenai kewajiban dari setiap pihak yang bertikai untuk menyelesaikan sengketa dengan cara-cara yang damai.

D.  Kronologis Sejarah Klaim Cina
Cina yang lebih dikenal sebagai Negeri Tirai Bambu merupakan satu-satunya negara pengklaim kepulauan Spartly sampai dengan Perang Dunia I. Berikut merupakan kronologis langkah-langkah yang telah dilakukan Cina dalam upayanya menegaskan kedaulatannya atas Kepulauan Spratly:
Dimulai pada tahun 1883: Cina memprotes ekspedisi Jerman ke Kepulauan Spratly
Tahun 1887: Cina membuat perjanjian perbatasan dengan Perancis (Vietnam merupakan protektorat Perancis)
Tahun 1930-1945: Kepulauan Spratly secara bergantian dikuasai oleh Jepang dan Perancis
Tahun 1946: Cina mengirim pasukan kapal perangnya untuk menduduki Kepulauan Spratly
Tahun 1947: Cina memasukkan wilayah Kepulauan Spratly kedalam Provinsi Guangdong
Tahun 1949: Pemerintah Komunis Cina menegasan klaim atas seluruh Kepulauan Spratly
Tahun 1951: Perdana Menteri Chou En Lai membuat pernyataan akan kepemilikan Kepulauan Spratly
Tahun 1958: Cina mengesahan deklarasi mengenai batas Perairan Teritorial
Tahun 1988: Cina membangun kawasan Fiery Cross Reef yang juga diklaim oleh Vietnam
Tahun 1992: Cina membuat Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan
Tahun 1995: Cina membuat Peta Maritim hingga ke wilayah Natuna Indonesia
Tauhun 1996: Cina mengesahkan undang-undang batas perairan teritorialny

E.  Faktor-faktor yang Mendasari Kebijakan Klaim Cina
Klaim Cina untuk mendapatkan kepulauan Spratly adalah berdasarkan sejarah negaranya dan garis batas maritim tradisional. Negara yang beribukotakan di Beijing ini tidak menggunakan acuan UNCLOS 1982 dalam mempertegas klaimnya dikarenakan keadaan fisik wilayahnya yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang ditetapkan. Atas dasar inilah Cina mengemukakan klaimnya berdasarkan aspek sejarah dan juga berdasarkan garis maritim tradisionalnya seperti ditunjukkan dalam peta batas territorial laut Cina dengan tanda sembilan garis putus-putus pada tahun 1947.
Kebijakan yang cukup bertentangan dengan UNCLOS 1982 adalah undang-undang terbarunya, yaitu undang-undang Maritim yang disahkannya pada tanggal 15 Mei 1996 yang berisikan tentang batas perairan teritorialnya yang ditarik dari garis pantai di sepanjang daratan Cina dan Kepulauan Paracel di sebelah utara Laut Cina Selatan, dengan menggunakan prinsip garis dasar lurus dan garis dasar negara kepulauan. Undang-undang ini mengindikasikan Cina untuk memasukkan Spratly dan Paracel ke dalam wilayah maritimnya seluas 200 mil dari laut. Untuk mewujudkan ambisinya, Cina menghubungkan wilayah daratan negaranya dengan Pulau Hainan, lalu menerapkan garis dasar negara kepulauan di sekeliling Kepulauan Paracel. Hal ini bertolak belakang dengan UNCLOS, karena sejalan dengan ketentuan didalamnya Kepulauan Paracel tidak dapat diartikan sebagai kepulauan, karena tidak memenuhi kriteria kepulauan seperti yang tercantum dalam UNCLOS.
Faktor lain yang cukup beralasan adalah kepentingan nasionalnya untuk mempertahankan wilayah kedaulatannya yang sedemikian luas agar tetap terintegrasi sehingga dapat memperkuat daya saing negaranya di kancah internasional. Ambisi ini semakin meruncing semenjak berakhirnya Perang Dingin dimana dua kekuatan utama dunia, Amerika Serikat dan Uni Sovyet mulai meredup. Dalam hal ini Cina ingin tampil sebagai pusat kekuatan baru yang bisa diperhitungkan.

Selain faktor-faktor diatas, Negeri Tirai Bambu ini juga haus akan sumber daya alam yang terkandung didalamnya dimana kawasan ini dinilai mempunyai cadangan kandungan mineral yang melimpah seperti hidrokarbon, tembaga, fosfat, dan terutama minyak bumi. Alasan ini sangat logis karena selama ini Cina selalu kekurangan sumber-sumber daya alam mineral di daratan untuk menunjang pembangunan industrinya serta untuk menunjukkan supremasinya sebagai negara besar dengan indikator perekonomian yang maju.

F.  Peran diplomasi ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik Kepulauan Spratly
ASEAN merupakan organisasi kawasan di Asia Tenggara memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas keamanan di Asia Pasifik. Dalam konflik ini terdapat dua negara anggota ASEAN yang terlibat, yaitu Malaysia dan Filipina. Oleh karena itu ASEAN harus ikut terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah yang mengikutsertakan 2 anggotanya. Dalam
hal ini ASEAN berupaya menggunakan soft power melalui sebuah diplomasi yang kemudian dikenal dengan istilah diplomasi bersama. Diplomasi ini dalam bentuk mengadakan sebuah forum dialog pada tingkat multilateralisme dengan kebijakannya menggandeng Cina ke dalam forum tersebut. Pelibatan Cina sebagai pihak yang dianggap sebagai ancaman di kawasan adalah salah satu bentuk diplomasi preventif dalam dialog yang digagas ASEAN. Forum internasional itu bertemakan ASEAN Regional Forum (ARF) yang beranggotakan 10 negara anggota ASEAN yang kemudian ditambah Negara Amerika Serikat, Australia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Rusia, Uni Eropa, Selandia Baru, serta Cina.

Tujuan ASEAN membentuk forum ini yaitu: pertama, adanya peluang konflik antar negara yang disebabkan oleh pergeseran kekuasaan sebagai akibat dari pembentukan ekonomi yang pesat. Kedua, sikap keanekaragaman dalam kawasan menyebabkan perbedaan pendekatan terhadap masalah perdamaian dan keamanan. Serta yang ketiga adalah konflik teritorial dan pertikaian yang menyangkut hal lain antar negara yang belum terselesaikan.

ASEAN juga prakarsa atas adanya sebuah forum khusus yang mengagendakan masalah Kepulauan Spratly sebagai agenda pembahasan yaitu dalam forum ASEAN-Cina Senior Officials Consultation (ACSOC). Forum ini berlangsung pada bulan April 1995 dan berakhir pada tahun 2002. Dalam forum ini ASEAN bermaksud untuk mengatur tindakan Cina sebagai negara pengklaim Kepulauan Spratly terbesar dan terkuat.

Upaya diplomasi ketiga yang ditempuh ASEAN adalah dengan membentuk code of conductantar pihak yang terlibat persengketaan serius dalam klaim kawasan kepulauan Spartly. Isi dari code of conduct tersebut adalah sebagai berikut:

1.         Sengketa territorial diantara kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi dalam perkembangan hubungan normal diantara mereka. Sengketa akan diselesaikan dengan cara damai dan bersahabat melalui diplomasi konsultasi yang berdasarkan persamaan dan sikap saling menghormati.
2.         Harus diambil upaya untuk membangun sikap saling percaya diantara kedua belah pihak untuk memperbaiki suasana perdamaian dan stabilitas di kawasan, dan untuk menahan diri dari penggunaan kekuatan atau ancaman untuk menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan sengketa.
3.          Dengan semangat untuk mencari titik persamaan dan mengurangi perbedaan, proses kerjasama bertahap dan progresif akan diambil, dengan mempertimbangkan perundingan untuk menyelesaikan sengketa kawasan tersebut.
4.         Kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan pertikaian sesuai dengan UNCLOS 1982.
5.         Kedua belah pihak sepakat untuk bersikap terbuka atas prakarsa dan usulan konstruktif dari negara-negara di kawasan untuk membangun kerjasama multilateral di Laut Cina Selatan pada waktu yang tepat.
6.         Saling mendorong kerjasama di bidang perlindungan kelautan, pencegahan, penanggulangan kecelakaan, operasi SAR (Search and Rescue), meteorology dan
penanggulangan potensi konflik.
7.         Kedua belah pihak harus bekerjasama untuk melindungi dan mengkonversi sumber-sumber daya di Laut Cina Selatan.
8.         Perselisihan akan dilaksanakan oleh negara-negara yang terlibat secara langsung tanpa mengganggu kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan[1].



















BAB III
PENUTUP

      Kesimpulan
Banyak hal yang dapat dibahas mengenai laut, karena laut itu merupakan perairan yang asin membentang dengan luas keseluruh penjuru bumi, menghubungkan pulau ke pulau dan menjadi sumber kekayaan alam yang sangat berlimpah. Berbagai jenis hasil laut dapat diperoleh dengan mudah dan dapat dikelola serta dibudidayakan agar selalu terjaga ekosistemnya untuk masa yang akan datang.
Tidak sedikit juga konflik-konflik sampai menimbulkan peperangan antar negara karena ingin menguasai laut yang dirasa sangat strategis, seperti konflik di Laut Cina Selatan. Yang melibatkan banyak negara khususnya Cina dan beberapa negara Asean. Ada lagi tindak pidana yang terjadi di perairan seperti perompakan, eksploitasi besar-besaran, pasar gelap, dan lain-lain.
Hal tersebut yang melatarbelakangi terjadinya berbagai perjanjian-perjanjian atau konvensi tentang laut, itu semua demi kelestarian sumber daya alam (laut) dan menjaga hubungan setiap umat manusia dalam mengolah hal tersebut. Di jaman yang modern seperti sekarang, sudah banyak hasil-hasil dari konferensi yang pernah diadakan, seperti : KHL Jenewa IV 1958, KHL PBB 1982, dan lainnya. Maka dihasilkanlah pembatasan terhadap wilayah laut demi menjaga kedaulatan suatu negara pantai agar ditetapkan pula dimana negara tersebut berhak menjalankan yurisdiksinya. Dari yang mulanya penentuan laut teritorial dengan jarak 3 mil sekarang berubah menjadi 12 mil diukur dari garis pangkal. Dan seterusnya ada pula zona tambahan 24 mil dan zona ekonomi eksklusif 200 mil yang juga diukur dari garis pangkal sama seperti mengukur laut teritorial suatu negara.
Tentunya  masih banyak lagi materi yang perlu dibahas tentang kelautan, namun karena yang menjadi pokok bahasan adalah laut tertutup atau setangah tertutup jadi, tidak banyak yang dapat saya berikan dalam tulisan ini. Akhir kata saya ucapkan terimakasih, saran dan kritikan sangat saya harapkan demi menambah wawasan saya tentang laut.


Daftar Pustaka

     1.  Brierly, J.L., 1996. Hukum Bangsa Bangsa, cetakan I, PT Bharata, Jakarta.
     2.  P. Joko Subagyo, 1985. Perkembangan Hukum Laut, Jakarta: Ghalia Indonesia.
     3.  P. Joko Subagyo (2009). Hukum Laut Indonesia , cetakan IV, Jakarta: PT Rineka Cipta. 
     4.  Koers, A.W., 1994. Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hukum Laut, Suatu Ringkasan, cetakan II, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
     5.  Mochtar Kusumaatmadja, 1967. Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta.

Literatur dari internet :



[1] Lihat di http://hukummaritim.wordpress.com/2012/09/10/2-perairan-pedalaman.
[2] Koers, Albert W, 1994. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut.Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta.hlm.5.
[3] Pasal 4 UNCLOS 1982
[4] Tahar, Abdul Muthalib,2013. Hukum Internasional dan Perkembangannya.Pusat Kajian Konstitusi dan Peraturan Peundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung. Lampung.hlm.74.
[5] Loc.cit.
[6] Lihat KHL 1982 pasal 33.
[7] Koers, Albert W, Op.cit., hlm.8
[8] Lihat pasal 76 ayat 1.

[9] Tahar, Abdul Muthalib , op.cit.,hlm.79.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...