Jumat, 02 Juni 2017

PRESIDEN memilih langsung calon rektor guna menghindari radikalisme dalam kampus, SOLUSI atau MASALAH?


Penulis: Abdul Rahman PN, S.H. (Pegiat PAHAM Lampung)

Munculnya gerakan radikalisme dalam kampus yang mengatasnamakan Islam, seperti kasus pengangkatan calon rektor yang terindikasi pengikut atau simpatisan gerakan Islamic State Iraq and Syria  (ISIS) dan Deklarasi Penegakkan Syariat Islam oleh sejumlah Mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Bogor yang dianggap radikal oleh pemerintah. Membuat pemerintah harus cepat dan tanggap mengambil tindakan terhadap kasus tersebut guna menghindari gerakan radikalisme yang menggunakan kampus sebagai wadah pergerakan dan membangun ideologi radikalisme.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam kesempatannya saat peringatan Hari Pancasila tanggal 1 Juni 2017 kemarin, menjelaskan tentang wacana bahwa pemilihan rektor menjadi kewenangan dari Presiden guna memberikan pemahaman kepada calon rektor terhadap pentingnya nilai-nilai Pancasila. Sebagaimana dikutip dalam Kompas.com: "Penentuan rektor akan diambil langsung oleh bapak Presiden, tidak boleh Menristek Dikti. Ini yang kami usulkan. Syukur bisa di Istana pelantikannya," kata Tjahjo di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (1/6/2017). Pernyataan Mendagri tersebut ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat terkait usulan tersebut kepada Menteri Sekretaris Negara Praktikno dan Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung kepada Menristek dan Dikti M Nasir.

Namun yang menjadi pro dan kontra mengenai wacana tersebut saat ini adalah apakah tepat apabila Presiden turun langsung dalam pemilihan dan pengangkatan rektor disetiap universitas di Indonesia ?
Menurut penulis, justru hal tersebut akan menimbulkan preseden buruk bagi rezim  pemerintah yang saat ini sedang berjalan. Masyarakat khususnya masyarakat kampus baik dosen maupun mahasiswa akan menilai bahwa dengan direalisasikannya wacana tersebut maka telah terjadi kemunduran demokrasi di tatanan perguruan tinggi serta pemerintahan yang sedang berjalan saat ini terkesan ingin sekali mengendalikan setiap aspek yang ada termasuk perguruan tinggi. Padahal seharusnya perguruan tinggi harus bersih dari campur tangan kekuasaan (politik) sebagai garda terdepan mengawal setiap kebijakan pemerintah.

Berkaitan dengan mekanisme pemilihan dan pengangkatan rektor pada dasarnya sudah diatur dalam Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Rektor/ Ketua/ Direktur Pada Perguruan Tinggi Negeri, yang menjelaskan bahwa mekanisme yang harus dilalui oleh para bakal calon rektor sesuai Permenristekdikti tersebut yaitu tahap penjaringan bakal calon yang dilakukan oleh senat. Setelah menghasilkan tiga calon, nama tersebut diajukan ke Menristekdikti, lalu menteri dan senat melakukan pemilihan dalam sidang senat. Dalam hal ini menteri dapat memberikan kuasa kepada pejabat yang ditunjuk. Pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara secara tertutup. Apabila dua calon rektor memperoleh suara tertinggi dalam jumlah sama dilakukan pemungutan suara putaran keda dengan cara sama. Baru kemudian menteri menetapkan rektor terpilih dengan perolehan suara terbanyak. Dalam pemilihan rektor, menteri memiliki suara sebesar 35%, sementara senat memiliki porsi lebih banyak yaitu 65%.

Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa peran senat sebagai perwakilan dosen dan mahasiswa disetiap perguruan tinggi sangat besar dalam menentukan siapakah yang layak menjadi rektor. Hal tersebut tentu sangat masuk akal, karena memang senatlah yang mengetahui secara jelas track record dari para calon rektor di setiap perguruan tinggi masing-masing.

Dengan mekanisme yang telah jelas tersebut, apabila wacana pemilihan rektor ditentukan oleh Presiden direalisasikan sudah barang tentu harus ada aturan yang mengaturnya terlebih dahulu, kemudian apabila Presiden berwenang untuk menentukan pemilihan calon rektor, lalu akan dikemanakan suara mahasiswa dan dosen yang diwakili oleh para senat serta bagaimana jika rektor yang terpilih tidak sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi, karena pada dasarnya Presiden tidak mengenal secara jelas siapa calon rektornya?

Untuk itu, menurut penulis wacana pemilihan rektor ditentukan oleh presiden merupakan suatu kebijakan yang tidak tepat dan justru akan menimbulkan masalah baru. Jika pemerintah ingin menghindari gerakan radikalisme dalam kampus, tidak perlu harus presiden langsung yang turun untuk ikut campur dalam urusan pemilihan rektor, biarkan itu tetap menjadi kewenangan kemenristekdikti dan senat setiap perguruan tinggi sesuai dengan aturan yang ada. Kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kemenristekdikti adalah dengan tindakan preventif atau pencegahan melalui pembuatan peraturan menteri terkait dengan larangan adanya gerakan radikalisme dikampus disertai dengan sanksi administrasi dan juga memberikan penyuluhan atau sosialisasi terhadap setiap perguran tinggi di Indonesia guna menanamkan nilai-nilai Kebangsaan , Nasionalisme  dan Keagamaan yang terkandung dalam Pancasila. 

Dengan tindakan preventif tersebut yang dilakukan secara masif dan terus-menerus diharapkan akan memberikan wawasan dan pemahaman kepada civitas akademika perguran tinggi untuk menjauhi setiap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila baik itu Radikalisme terhadap agama maupun Komunisme.


JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...