Kamis, 07 Mei 2015

Hukum Kritis dan Hukum Progresif



Apasih Hukum Kritis dan Hukum Progresif itu ?

Ubi societas ibi ius, yah..  itulah kalimat yang terucap kurang lebih 19 abad yang lalu, sebuah pendapat yang dapat bertahan melintasi zaman sampai sekarang  dari seorang ahli filsuf dan ahli hokum yang lahir di Roma. Adalah Marcus Tullius Cicero yang mengungkapkan “ubi societas ibi ius”, yang berarti dimana ada masyarakat disitu ada hokum. Kalimat yang sederhana namun argumennya sangat kuat, kalimat ini mengartikan bahwa hokum tidak bisa dilepaskan dari tatanan masyarakat, dimana kedamaian dan kesejahteraan di masyarakat hanya bisa tercapai apabila tatanan hokum di masyarakat telah terbukti mendatangkan keadilan yang berjalan dengan efektif.
Berkaitan dengan apa itu hokum kritis dan hokum progresif, alangkah lebih baik jika saya memberikan penjelasan mengenai asal mula dan pengertian kedua prespektif hokum tersebut.
A.      Hokum Kritis (gerakan study hokum kritis)
Hokum kritis muncul karena ada suatu gerakan para akademisi hokum beraliran kiri (leftist), tetapi kemudian dikembangkan juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang sebagai berikut:
1. Terhadap pendidikan hukum.
2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum.
3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.

Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konfrensi di  
Wiscounsin Amerika tahun 1977 “ Confrence on Critical Legal Studies “ (Ifdleal Kasim) 1999 : 10). Beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam style, metode dan fokus, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti di Jerman, Prancis, dan negara lain. Mengadakan sebuah konferensi “Declaration Des Dreit De Home Et Du Citoyen” yaitu pada tahun 1789 di Perancis. Di Inggris, gerakan Critical Legal Studies ini dibentuk dalam konfrensi tentang Critical Legal Studies pada tahun 1984.

Gerakan ini dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam dekade 1960-an. Meskipun gerakan-gerakan demikian bervariasi dalam konsep, fokus dan metode yang dipergunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang ortodok dalam bentuk tradisi hukum tertulis yang baku (black latter law). Akan tetapi, dipihak lain pada waktu yang bersamaan, gerakan Critical Legal Studies juga mengakui keterbatasan dari pendekatan Sociolegal terhadap hukum, yang mencoba menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain dalam menelaah hukum, meskipun pendekatan Sociolegal tersebut sebenarnya untuk memecahkan kebekuan pendekatan ortodok dari hukum yang bersifat black latter law tersebut. Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1. Aliran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya    
    memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral.
2. Ajaran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan
    ideologi tertentu
3. Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan
    individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan   
   dengan emansipasi kemanusiaan.
4. Ajaran Studi Hukum Kritis ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang
    abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran Studi Hukum
    Kritis ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum
5. Aliran Studi Hukum Kritis ini menolak antara teori dan praktek, dan menolak
    perbedaan teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai
    (value), yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian, aaliran
    Studi Hukum Kritis ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih
    menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial
    praktis.

Pada prinsipnya, Studi Hukum Kritis menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut:
1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum.
2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat
    dimengerti.
3. Hukum itu netral. Artinya, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.

B.      Hokum progresif
Pertanyaan tentang apa sebenarnya hukum progresif dan posisinya dalam aliran hukum yang berkembang mengemuka dalam Konsorsium Hukum Progresif yang berlangsung selama dua hari di Semarang, 29-30 November 2013. Lebih dari enam puluh makalah disampaikan dalam perhelatan itu, semua mencoba menggambarkan wujud hukum progresif dalam berbagai bidang. Bahkan seorang peserta bertanya dalam forum apa sebenarnya hukum progresif, karena ternyata masing-masing orang menafsirkan hukum progresif itu berdasarkan versinya.
Pada penutupan acara, Direktur Satjipto Rahardjo Institute, Prof. Suteki, mengatakan tak mudah menjawab hukum progresif per definisi karena ia adalah hukum yang terus berkembang. Almarhum Prof. Tjip menyebut hukum itu berkualitas sebagai ilmu yang senantiasa mengalami pembentukan, legal science is always in the making. Hukum progresif adalah gerakan pembebasan karena ia bersifat cair dan senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya.
Hukum progresif memang telah berkembang sedemikian rupa sejak Satjipto Rahardjo menggagasnya. Gagasan itu pertama-tama didasari keprihatinan terhadap kontribusi rendah ilmu hukum di Indonesia untuk mencerahkan bangsa keluar dari krisis, termasuk krisis di bidang hukum.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM Yogyakarta yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, mengelaborasi pikiran-pikiran hukum progresif ke dalam 13 karakter. Antara lain hukum progresif bukan hanya teks, tetapi juga konteks. Hukum progresif mendudukkan kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam satu garis. Jadi, hukum yang terlalu kaku akan cenderung tidak adil. Hukum progresif bukan hanya taat pada formal prosedural birokratis tetapi juga material-substantif. Tetapi yang tak kalah penting adalah karakter hukum progresif yang berpegang teguh pada hati nurani dan menolak hamba materi. “Hukum itu harus berhati nurani,” kata Guru Besar Universitas Parahyangan Bandung, B. Arief Sidharta.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh. Mahfud MD juga mengakui hukum progresif sulit dibuat per definisi. Bagi seorang hakim, hukum progresif adalah hukum yang bertumpu pada keyakinan hakim, dimana hakim tidak terbelenggu pada rumusan Undang-Undang. Mengunakan hukum progresif, seorang hakim berani mencari dan memberikan keadilan dengan melanggar Undang-Undang. Apalagi, tak selamanya Undang-Undang bersifat adil.
Salah satu contoh Undang-Undang yang tidak adil adalah UU Pemilu yang hanya mengizinkan partai politik yang punya kursi di DPR yang boleh ikut pemilu pada 2009. Aturan semacam itu dinilai Mahfud sebagai bentuk kolusi yang tidak memberikan rasa keadilan. Walhasil, Mahkamah Konstitusi menggunakan optik hukum progresif untuk membatalkan regulasi itu.

Secara singkat, Teori Hukum Progresif yang dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo ini menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya.

Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita” (Profesor Satjipto Rahardjo).
Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” : Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.Berdasarkan teori ini keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal. Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk tujuan yang berada di luar dirinya.
Dalam masalah penegakan hukum, terdapat 2 macam tipe penegakan hukum progresif :
1.      Dimensi dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat yang mendasari penegakan hukum progresif.
2.      Kebutuhan akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta teoritisi hukum Indonesia.
Nah, itu dia asal mula dan penjelasan mengenai hokum kritis dan hokum progresif. Kesimpulan dari saya bahwa hokum kritis adalah sebuah gerakan yang menentang atau mencoba mengkritisi Perundang-undangan atau aturan yang ada yang dinilai kurang dalam pembuatan dan implementasi aturan tersebut, hokum kritis mencoba untuk memberikan sebuah perubahan terhadap hokum agar lebih berkembang dan menciptakan sebuah kesejahteraan rakyat (welfare) sedangkan hokum progresif ditujukan agar hokum itu untuk mensejahterakan, memberikan keadilan dan kepastian hokum bukan manusia yang menuruti hokum seperti yang diungkapkan oleh Prof. DR. Satjipto Rahardjo. Dan pada intinya, kedua prespektif hokum ini merujuk pada hokum positif (hokum yang saat ini digunakan) atau disebut juga “das sein” dan bersama-sama menciptakan sebuah penemuan atau hukum baru yang masih dicita-citakan atau “das sollen”. Akhirnya, hukum itu dikembalikan lagi kepada masyarakat, hukum ada karena masyarakat "ibi ius ubi societas" dan keadilan harus dijunjung tinggi tanpa memandang bulu serta hukum harus ditegakkan kepada yang melanggar seperti yang tersirat dalam lambang  "the lady justice".
Mungkin tulisan saya bias bermanfaat bagi pembaca baik itu : mahasiswa, dosen, akademisi ataupun yang hanya iseng membaca dan saya sadar masih banyak kekurangan dari tulisan ini jadi mohon kritik dan sarannya ya. :D  
Sumber :
Artikel-artikel mengenai hokum kritis dan progresif
Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH, Aneka Persoalan Hukum dan Masyarakat, Penerbit Alumni Bandung, 1983.

 

JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...