Kamis, 15 Februari 2018

Permasalahan Hutang Piutang


Dapatkah Seseorang Dilaporkan Ke Polisi Karena Tidak Melunasi Hutang

Salah satu permasalahan hukum yang sering terjadi dimasyarakat adalah seseorang yang dilaporkan kepolisi karena tidak melunasi tunggakan hutangnya dengan tuduhan penipuan ataupun penggelapan. Di kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah hal ini sering kali terjadi, dimana satu pihak yang merasa memiliki modal (rentenir) dengan mudahnya menawarkan pinjaman kepada yang lain tentunya dengan memberikan bunga pada setiap peminjaman. Pasar tradisional menjadi salah satu tempat yang sangat strategis bagi rentenir untuk menawarkan pinjaman kepada mereka (pedagang) yang sangat membutuhkan modal usaha. Sayangnya, meski praktik ini sudah disadari sangat merugikan bagi si peminjam karena bunga yang terkadang ditentukan dengan sangat besar, namun karena himpitan ekonomi membuat rentenir tumbuh subur dimasyarakat sehingga benar jika ada pepatah lama “yang kaya makin kaya, yang miskis makin miskin”.

Sekedar berbagi pengalaman, saat saya masih kuliah dan aktif sebagai paralegal di Biro Konsultasi bantuan Hukum (BKBH) FH Unila. Saya pernah membantu pengacara BKBH menangani perkara-perkara semacam ini. Klien kami yang tak perlu saya sebutkan namanya, dilaporkan oleh seseorang atas dugaan penipuan. Kemudian setelah saya selidiki, pelapor merupakan orang yang pernah memberi pinjaman (rentenir) kepada klien kami untuk modal usaha dagang pakaian di pasar. Namun dengan modus yang sudah sering dilakukan oleh rentenir tersebut, saat memberi pinjaman uang, klien kami di sodorkan sebuah kertas yang hanya berisi identitas para pihak dan langsung diperintahkan untuk menandatangi kertas yang diberikan materai tersebut. Karena ketidakpahamannya terhadap hukum, klien kami pun menandatangani surat tersebut tanpa merasa curiga sedikitpun.
Bahwa kertas yang sudah ditandatangi tersebut, kemudian dibuatkan perjanjian secara sepihak oleh si rentenir tersebut, dengan salah satu klausulnya menjelaskan bahwa “apabila pihak kedua (klien kami) tidak dapat mengembalikan uang beserta bunganya tersebut selama 3 bulan, maka pihak pertama (rentenir) akan melaporkan pihak kedua kepada kepolisian”.

Benar saja, beberapa bulan kemudian klien kami tidak mampu melunasi hutang karena bunga yang terlampau besar, hingga akhirnya ia dilaporkan ke polisi dan sempat dilakukan pemeriksaan. Akhirnya beberapa hari setelahnya, khawatir ia akan ditahan oleh polisi, melalui istrinya melaporkan kejadian tersebut dan memohon bantuan hukum kepada kami melalui BKBH FH Unila.

Tindakan yang saat itu saya lakukan, adalah dengan menemui penyidik yang memeriksa klien kami, dengan sedikit basa-basi agar mencairkan suasana kemudian saya jelaskan dengan singkat bahwa “mohon hentikan proses hukum terhadap klien kami, karena ini bukan ranah pidana. Perbuatan yang dilakukan antara klien kami dengan pelapor adalah murni hubungan keperdataan yaitu perjanjian hutang piutang, sehingga apabila klien kami tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk melunasi hutang maka perbuatannya termasuk cidera janji (wanprestasi) dimana upaya hukum yang dapat dilakukan adalah gugatan wanprestasi ke pengadilan bukan dengan cara memidanakan klien kami dengan dugaan penipuan ataupun penggelapan.”

Bersyukur setelah pertemuan tersebut, penyidik tersebut cukup kooperatif dengan menjelaskan kepada pelapor duduk perkaranya dan menghentikan pemeriksaan terhadap klien kami.
Dari pengalaman saya tersebut, selanjutnya saya akan memberikan penjelasan agar anda dapat memahami dan membedakan mana yang termasuk wanprestasi dalam suatu perjanjian dan mana yang termasuk penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP.

Sebelum saya menjelaskan terkait apa itu dan bagaimana seseorang dapat dikategorikan perbuatan wanprestasi atau penipuan, perlu saya jelaskan terlebih dahulu definisi perjanjian. Karena wanprestasi terjadi karena tidak dipenuhinya suatu janji (cidera janji). Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Secara tersirat, mengenai perjanjian hutang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, yaitu:
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

Apabila seseorang tidak melunasi hutangnya, maka dia  telah melakukan perbuatan cidera janji atau wanprestasi. Pasal 1243 KUHPerdata, menyatakan:
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

Sesuai Pasal 1243 KUHPerdata tersebut, bahwa seseorang dinyatakan melakukan telah melakukan cidera janji atau wanprestasi apabila tidak memenuhi kewajiban yang diwajibkan kepadanya padahal tenggang waktu yang diberikan kepadanya untuk melakukan kewajiban tersebut telah lewat.
Adapun makna dari wanprestasi, berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya (obligatoire overeenkomst).
Wanprestasi dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”):
       a.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 
       b.    Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
       c.    Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
       d.   Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog), adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
     a.    Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
    b.    Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
     c.    Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)

Unsur poin c di atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang mengatakan:
“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.”
Dalam hal ini, jelas bahwa perkara wanprestasi tidak dapat dijadikan sebagai tindak pidana penipuan.

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Karena membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur sebagai berikut:
“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”

Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 
Sebagaimana beberapa Yurisprudensi Tetap Mahmakah Agung Republik Indonesia yang juga menyatakan bahwa hutang piutang tidak dapat dipidanakan, yaitu:
     1.    Putusan Nomor Register : 93K/Kr/1969, tertanggal 11 Maret 1970
Menyatakan: “Sengketa Hutang-piutang adalah merupakan sengketa perdata.”
     2.    Putusan Nomor Register : 39K/Pid/1984, tertanggal 13 September 1984
Menyatakan: “Hubungan hukum antara terdakwa dan saksi merupakan hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan.”
     3.    Putusan Nomor Register : 325K/Pid/1985, tertanggal 8 Oktober 1986
Menyatakan: “Sengketa Perdata Tidak dapat dipidanakan.”

Jadi, dari uraian saya di atas secara mendasar wanprestasi dengan penipuan adalah dua perbuatan dengan ranah hukum yang berbeda. Sehingga pada akhirnya saya berharap disinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sebagai catur wangsa untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata. Jangan sampai ketidaktahuan masyarakat akan hukum, menjadikan dirinya sebagai pihak yang selalu salah dan disalahkan hingga akhirnya penjara penuh bukan karena di isi oleh orang-orang salah namun karena terjebak dalam sebuah sistem dimana masyarakat tidak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebab ketidaktahuannya akan hukum. Oleh karenanya, saya menutup pembahasan kali dengan sebuah adagium hukum, yaitu:

“IGNORANTIA EXCUSATUR NON JURIS SED FACTI”
(Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum)

Bandar Lampung, 15 Februari 2018
Penulis,



Abdul Rahman Praja Negara, S.H.

Dasar hukum:
     1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
     2.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt)
     3.    Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...