Jumat, 02 Juni 2017

PRESIDEN memilih langsung calon rektor guna menghindari radikalisme dalam kampus, SOLUSI atau MASALAH?


Penulis: Abdul Rahman PN, S.H. (Pegiat PAHAM Lampung)

Munculnya gerakan radikalisme dalam kampus yang mengatasnamakan Islam, seperti kasus pengangkatan calon rektor yang terindikasi pengikut atau simpatisan gerakan Islamic State Iraq and Syria  (ISIS) dan Deklarasi Penegakkan Syariat Islam oleh sejumlah Mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Bogor yang dianggap radikal oleh pemerintah. Membuat pemerintah harus cepat dan tanggap mengambil tindakan terhadap kasus tersebut guna menghindari gerakan radikalisme yang menggunakan kampus sebagai wadah pergerakan dan membangun ideologi radikalisme.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam kesempatannya saat peringatan Hari Pancasila tanggal 1 Juni 2017 kemarin, menjelaskan tentang wacana bahwa pemilihan rektor menjadi kewenangan dari Presiden guna memberikan pemahaman kepada calon rektor terhadap pentingnya nilai-nilai Pancasila. Sebagaimana dikutip dalam Kompas.com: "Penentuan rektor akan diambil langsung oleh bapak Presiden, tidak boleh Menristek Dikti. Ini yang kami usulkan. Syukur bisa di Istana pelantikannya," kata Tjahjo di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (1/6/2017). Pernyataan Mendagri tersebut ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat terkait usulan tersebut kepada Menteri Sekretaris Negara Praktikno dan Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung kepada Menristek dan Dikti M Nasir.

Namun yang menjadi pro dan kontra mengenai wacana tersebut saat ini adalah apakah tepat apabila Presiden turun langsung dalam pemilihan dan pengangkatan rektor disetiap universitas di Indonesia ?
Menurut penulis, justru hal tersebut akan menimbulkan preseden buruk bagi rezim  pemerintah yang saat ini sedang berjalan. Masyarakat khususnya masyarakat kampus baik dosen maupun mahasiswa akan menilai bahwa dengan direalisasikannya wacana tersebut maka telah terjadi kemunduran demokrasi di tatanan perguruan tinggi serta pemerintahan yang sedang berjalan saat ini terkesan ingin sekali mengendalikan setiap aspek yang ada termasuk perguruan tinggi. Padahal seharusnya perguruan tinggi harus bersih dari campur tangan kekuasaan (politik) sebagai garda terdepan mengawal setiap kebijakan pemerintah.

Berkaitan dengan mekanisme pemilihan dan pengangkatan rektor pada dasarnya sudah diatur dalam Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Rektor/ Ketua/ Direktur Pada Perguruan Tinggi Negeri, yang menjelaskan bahwa mekanisme yang harus dilalui oleh para bakal calon rektor sesuai Permenristekdikti tersebut yaitu tahap penjaringan bakal calon yang dilakukan oleh senat. Setelah menghasilkan tiga calon, nama tersebut diajukan ke Menristekdikti, lalu menteri dan senat melakukan pemilihan dalam sidang senat. Dalam hal ini menteri dapat memberikan kuasa kepada pejabat yang ditunjuk. Pemilihan dilakukan melalui pemungutan suara secara tertutup. Apabila dua calon rektor memperoleh suara tertinggi dalam jumlah sama dilakukan pemungutan suara putaran keda dengan cara sama. Baru kemudian menteri menetapkan rektor terpilih dengan perolehan suara terbanyak. Dalam pemilihan rektor, menteri memiliki suara sebesar 35%, sementara senat memiliki porsi lebih banyak yaitu 65%.

Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, dapat kita lihat bahwa peran senat sebagai perwakilan dosen dan mahasiswa disetiap perguruan tinggi sangat besar dalam menentukan siapakah yang layak menjadi rektor. Hal tersebut tentu sangat masuk akal, karena memang senatlah yang mengetahui secara jelas track record dari para calon rektor di setiap perguruan tinggi masing-masing.

Dengan mekanisme yang telah jelas tersebut, apabila wacana pemilihan rektor ditentukan oleh Presiden direalisasikan sudah barang tentu harus ada aturan yang mengaturnya terlebih dahulu, kemudian apabila Presiden berwenang untuk menentukan pemilihan calon rektor, lalu akan dikemanakan suara mahasiswa dan dosen yang diwakili oleh para senat serta bagaimana jika rektor yang terpilih tidak sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi, karena pada dasarnya Presiden tidak mengenal secara jelas siapa calon rektornya?

Untuk itu, menurut penulis wacana pemilihan rektor ditentukan oleh presiden merupakan suatu kebijakan yang tidak tepat dan justru akan menimbulkan masalah baru. Jika pemerintah ingin menghindari gerakan radikalisme dalam kampus, tidak perlu harus presiden langsung yang turun untuk ikut campur dalam urusan pemilihan rektor, biarkan itu tetap menjadi kewenangan kemenristekdikti dan senat setiap perguruan tinggi sesuai dengan aturan yang ada. Kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini kemenristekdikti adalah dengan tindakan preventif atau pencegahan melalui pembuatan peraturan menteri terkait dengan larangan adanya gerakan radikalisme dikampus disertai dengan sanksi administrasi dan juga memberikan penyuluhan atau sosialisasi terhadap setiap perguran tinggi di Indonesia guna menanamkan nilai-nilai Kebangsaan , Nasionalisme  dan Keagamaan yang terkandung dalam Pancasila. 

Dengan tindakan preventif tersebut yang dilakukan secara masif dan terus-menerus diharapkan akan memberikan wawasan dan pemahaman kepada civitas akademika perguran tinggi untuk menjauhi setiap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila baik itu Radikalisme terhadap agama maupun Komunisme.


Selasa, 28 Februari 2017

“FREEPORT PENJARAH EMAS RAKYAT PAPUA”


Sejarah mencatat bahwa awal mula ditemukannya Gunung Emas di tanah Papua adalah sejak ekspedisi yang dilakukan oleh Jean Jacques Dozy pada tahun 1936 yang menemukan cadangan estberg atau disebut gunung emas di pedalaman Papua.[1] Terdapat mitologi kuno yang sangat melekat dalam jiwa masyarakat adat di daerah tersebut, dimana dahulu di tengah masyarakat ada kelahiran manusia sejati, yang dilahirkan seorang perempuan, yang setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang sepanjang daerah Amungsal (tanah Amungme), daerah ini dianggap keramat oleh masyarakat setempat sehingga secara adat tidak dijinkan untuk dimasuki.

Namun, daerah tersebut akhirnya dibuka untuk lokasi pertambangan oleh PT Freeport Indonesia (PT FI), sejak penandatanganan kontrak karya antara PT FI dengan pemerintah Indonesia pada tahun 1967, kontrak ini berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi 1973. Dan itulah warga suku Amungme dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia, tepatnya di Kota Tembagapura (sebuah kota yang namanya diresmikan oleh Presiden Soeharto). Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia. 24 Tahun lebih PT FI melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam di tanah papua, membuat perusahaan tersebut menjadi salah satu perusahaan dengan produksi emas dan tembaga terbesar di dunia. Tentunya setelah kembali menemukan cadangan di  Grasberg, membuat PT FI sangat bersemangat untuk kembali menjarah emas di tanah Papua.

Pendandatangan Kontrak Karya II pun, terjadi pada tahun 1991, berlaku 30 tahun dan akan berakhir 2021 serta kemungkinan perpanjangan 2 kali 10 tahun (sampai 2041).[2] Hal tersebut tentu, membuat para petinggi perusahaan tersebut semakin terbuai dengan kekayaan hasil menjarah di tanah papua tersebut.
Sebagai mahasiswa, penulis merasa sangat prihatin dengan fakta tersebut, sampai kapan hal tersebut akan terjadi ???, sampai kapan PT Freeport terus menjarah emas di tanah papua, membuat amerika semakin kaya dan meninggalkan kerusakaan ekosistem bagi generasi Papua selanjutnya.  Kemana perginya para insinyur dan sarjana geologi lulusan terbaik dari penjuru universitas ternama di indonesia ?? apakah..  mereka tak bisa mengelola tambang emas tersebut..??? atau memang hal tersebut sengaja dibiarkan oleh pemerintah yang sering kali talik ulur masalah freeport ??

Jika bangsa ini ingin bebas dari penjajahan era modern seperti saat ini,  tentu urusan freeport harus menjadi prioritas yang harus segera terselesaikan. Indonesia dijajah begitu lama karena di tengah-tengah perjuangannya selalu ada pengkhianat dan para oportunis sejati. Masih teringat jelas dalam ingatan kita, dipertengahan tahun 2015, dua tahun yang lalu. Dimana ada seroang wakil rakyat, yang mencoba meminta komisi atas saham milik PT Freeport Indonesia tersebut, dan tanpa memiliki urat malu lagi, kini ia bertengger dikursi DPR setelah sebelumnya sempat dicopot sebagai Ketua DPR RI. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah penyakit yang sudah mendarah daging disetiap jiwa para pemimpin bangsa. Awal mula PT Freeport dapat menanamkan investasinya di tanah Papua juga karena permainan politik (KKN) yang dilakukan semasa rezim orde baru, banyak pejabat-pejabat negara bahkan militer ikut menerima bonus-bonus berupa jabatan, kekuasaan dan  hadiah lainnya sebagai imbalan atas terjalinnya kerjasama antara PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia serta kemananan yang diberikan pihak militer saat itu 24 jam non-stop.[3]

Bukankah dalam UUD 1945, pasal 33 ayat (3) negara menjamin bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Frasa “dikuasai oleh negara” dalam hal ini tidak berarti memiliki, karena pada dasarnya kepemilikan tanah, termasuk hak ulayat mutlak milik warga negara sendiri, merekalah yang berhak mengelola dan menikmati hasil kekayaan alam tersebut. Pemerintah hanya berwenang memberikan perlindungan dan kepastian hukum dengan membuat berbagai kebijakan, bukan serta merta menjadi seperti pemilik tanah tersebut, sehingga kewenangannya melampaui batas.

Seperti kontrak karya yang disepakati tersebut di atas, bahkan dalam kesepakatan yang dibuat dalam kontrak karya tersebut, tidak ada pihak yang mewakili kepentingan rakyat papua, hanya pemerintah rezim orde baru dan PT freeport saja, sebagai pihak yang bersama-sama menandatangani kesepakatan tersebut. Sehingga negara terkesan seperti mafia tanah bagi rakyatnya sendiri, yang bisa seenaknya membuat perjanjian dengan perusahaan yang hendak berinvestasi di tanah indonesia. Demi keuntungan pihak-pihak tertentu.

Dalam kontrak karya 1991 tersebut dijelaskan bahwa indonesia hanya mendapatkan keuntungan hanya 1% dari keseluruhan keuntungan PT Freeport pertahunnya.  dimana, logika matematiknya..??  bagaimana bisa, kita yang memiliki lahan, asing yang mengelola tapi bagi hasilnya, setengah keuntungan pun tidak. Padahal, ibarat seorang buruh tani dikampung-kampung, yang bekerja mengelola lahan sawah milik seseorang, mereka pun tetap dapat jatah minimal setengahnya.

Ketua dan anggota komisi VII DPR RI pun sempat dibuat terkejut oleh pernyataan Menteri ESDM saat itu pada tahun 2015, Sudirman Said, yang menjelaskan bahwa “Dalam kontrak yang ditanda tangani tahun 1991, ada empat item siapapun pemerintahnya dan menterinya akan mengalami kesulitan,” kata Sudirman Said di ruangan komisi VII DPR-RI Senayan Jakarta, Selasa (1/12).[4]
Kontrak tersebut berbunyi, pihak Freeport disamping mendapatkan perpanjangan selama 30 tahun, juga bisa memperpanjang dua kali sepuluh tahun. Kemudian Freeport dapat mengajukan perpanjangan sejak ditandatangani kontrak ini. Apabila tidak ada alasan mendasar, maka pemerintah tidak boleh menunda persetujuan perpanjangan tersebut.

Kemudian pada item kedua tercantum pada klausul pasal 32, kontrak ini mentaati peraturan perundang-undangan sampai dengan terbit penandatanganan kontrak ini. “Artinya bisa mengabaikan kontrak dan UU yang terbit sesudah kontrak itu,” kata Sudirman Said.
Selanjutnya, pada item ketiga ada kata-kata sepanjang kontrak ini berlaku, pemerintah Indonesia tidak bisa menasionalisasikan tambang ini. Kemudian pada item terakhir menyebutkan, bahwa setelah habis masa kontrak kapanpun, apabila ada pengalihan saham, harus dilakukan melalui harga pasar.

Mereka semua kaget dan heran mengetahui hal tersebut, yang menjadi pertanyaan  penulis, lalu sejak 1991 sampai 2015 saat itu, kemana dan apa saja yang dikerjakan oleh wakil rakyat tersebut, sampai-sampai tidak tahu-menahu mengenai kontrak karya kedua yang sudah terlanjur ditandatangani tersebut ???

Dua tahun kemudian, setelah kisruh kasus “Papa Minta Saham”, yang sempat disinggung sebelumnya, tepatnya pada awal tahun 2017 ini, polemik antara pemerintah dengan PT Freeport kembali terjadi. Pemerintah dalam hal ini Mentri ESDM yang baru Ignasius Jonan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara serta peraturan turunannya, yang telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Pada 10 Februari 2017 lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi untuk PT Freeport Indonesia. IUPK tersebut diberikan agar Freeport dapat melanjutkan kegiatan operasi dan produksinya di Tambang Grasberg, Papua. Perubahan perjanjian Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Yang dijelaskan dalam 170 UU Minerba tersebut bahwa pemegang Kontrak Karya wajib melakukan pemurnian mineral dalam negeri dalam jangka waktu 5 tahun sejak diundangkannya Undang-undang tersebut.

Artinya, Freeport sebagai pemegang KK tak bisa lagi mengekspor konsentrat tembaga, hanya produk yang sudah dimurnikan yang boleh diekspor. Sementara baru perusahaan tambang yang berpusat di Arizona, Amerika Serikat (AS) itu, baru bisa memurnikan 40% dari konsentrat tembaganya di smelter (fasilitas pemurnian mineral) Gresik, yang sampai saat ini belum rampung pembangunannya.
Kewajiban untuk merubah Kontrak Karya dengan IUPK ditanggapi oleh Pimpinan PT Freeport dengan respon yang negatif, perusahaan tersebut menolak untuk melakukan perubahan tersebut dan besikeras untuk tetap mengacu pada Kontrak Karya sebelumnya, karena dinilai sangat merugikan perusahaan.

Poin-poin penting yang dianggap merugikan tersebut, diantaranya:
1. Perubahan ketentuan tentang divestasi saham sampai dengan 51% secara bertahap.
Divestasi 51% Ini menurut Jonan penting karena instruksi Bapak Presiden, dengan diterapkanya PP ini maka semua pemegang kontrak karya dan IUPK dan sebagainya itu wajib tunduk kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba yang wajib itu melakukan divestasi saham sampai 51% sejak masa produksi. Dalam PP Nomor 1 tahun 2017 pasal 97 ayat 2 dinyatakan tahapan divestasi yakni, tahun keenam 20% (dua puluh persen), tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen), tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen), tahun kesembilan 44% (empat puluh empat persen) dan tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah seluruh saham.
2. Perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan untuk izin usah pertambangan (IUP) dan izin usah pertambangan khusus (IUPK), paling cepat 5 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha.
3.  Pemerintah mengatur tentang harga patokan penjualan mineral dan batubara.
4. Pemerintah mewajibkan pemegang kontrak karya itu untuk merubah izinnya menjadi rezim perijinan pertambangan khusus operasi produksi.
5. Penghapusan ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu; dan

Freeport McMoRan Inc, perusahaan induk PT Freeport Indonesia, keberatan jika harus melepaskan sahamnya sampai 51% di PT Freeport Indonesia karena artinya mereka bukan lagi pemegang saham mayoritas. Freeport McMoRan Inc ingin tetap memegang kendali PT Freeport Indonesia.[5]

PT Freeport yang menolak dengan kebijakan tersebut, akhirnya dengan tegas mengancam pemerintah RI untuk memperkarakannya ke meja hijau melalui jalur Arbitrase Internasional, apabila negoisasi yang sedang berlangsung selama 120 hari tidak menemui titik temu. Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi pun siap, apabila harus menempuh jalur arbitrase internasional.

Penulis, sebagai mahasiswa yang tidak memiliki power hanya bisa memberikan pendapat terhadap polemik yang terjadi antara PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia dalam tulisan ini dan hanya berharap agar pemerintah kali ini bisa bersikap tegas dan mendahulukan kepentingan rakyat, terutama rakyat Papua yang masih jauh dari kata sejahtera. Mereka (PT Freeport) menantang akan melakukan jalur abritrase internasional...  satu kata LAWAN....  tak perlu lagi kita banyak berunding dengan mereka “amerika”, sudah terlalu lama kita menuruti kemauan mereka, sudah seharusnya kita tegak di kaki sendiri, seperti cita-cita sang proklamator (BUNG KARNO) pendiri Bangsa “Negara kita harus menjadi Bangsa yang BERDIKARI”, untuk itu segera selesaikan masalah Freeport, penulis mendukung pemerintah apabila dapat menuntaskan permasalahan ini dengan bijak, dan segera NASIONALISASIKAN PT Freeport untuk Indonesia, untuk kemakmuran rakyat Indonesia khususnya rakyat PAPUA.



[1] Sumber: litbang kompas/grh/drew, kompas 21 feb 2017/, diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 10.00 WIB.
[2]  http://www.rappler.com/indonesia/109077-kronologi-negosiasi-perpanjangan-kontrak-freeport-indonesia. Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul: 11.15 WIB.
[3] https://saripedia.wordpress.com/tag/kontrak-karya-pt-freeport-indonesia-oleh-soeharto-rezim-orba/. Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 09.30 WIB.
[4] http://www.aktual.com/ketua-dan-anggota-komisi-vii-dibuat-terkejut-soal-kontrak-freeport/. Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 12.30 WIB.
[5] https://finance.detik.com/energi/d-3428820/kontrak-karya-dan-iupk-jadi-akar-masalah-freeport-apa-bedanya. Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 13.30 WIB.

Nilai Ketuhanan Merupakan Jiwa Bangsa dan Negara Indonesia


Sebagai warga negara Indonesia, kita tentu mengerti isi sila pertama pada Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila pertama tersebut mengandung makna bahwa: pertama, adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Kedua, bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, bukan bangsa yang ateis. Pengakuan terhadap Tuhan diwujudkan dengan perbuatan untuk taat pada perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan ajaran atau tuntutan agama yang dianutnya. Ketiga, adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminasi antar umat beragama.

Makna yang terkadung dalam setiap butir Pancasila khususnya sila pertama merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para pendiri negara (the founding father) kita, yang dituangkan dalam suatu sistem dan menjadi ideologi Bangsa Indonesia.[1]
Dengan ideologi Pancasila dalam sila pertama tersebut, dengan tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara ketuhanan atau bisa diartikan negara yang beragama. Pernyataan ini tidak saja dapat terbaca dalam Pembukaan UUD 1945 dimana perumusan Pancasila itu terdapat tetapi dijabarkan lagi dalam tubuh UUD 1945 itu sendiri pasal 29 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut : “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Adanya pernyataan pengakuan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa secara yuridis konstitutional ini, mewajibkan pemerintah atau aparat negara untuk dapat menjalankan setiap kebijakan dengan berlandaskan pada asas Ketuhanan.

Batang tubuh UUD 1945 juga menjelaskan dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa: “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu”. Hal tersebut memiliki arti bahwa Negara Indonesia tidak terdiri hanya satu golongan agama tetapi terdiri dari berbagai kumpulan umat beragama yang disatukan dalam bingkai “Kebhinnekaan”. Sehingga, dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara tentu harus berlandaskan pada nilai-nilai Ketuhanan.

Sayangnya, pemahaman dan implementasi terhadap konsep atau nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila khususnya sila pertama mulai memudar seiring berubahnya zaman. Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi membuat dunia seperti tanpa batas, ideologi-ideologi dari bangsa dan negara lain dapat masuk dengan mudah mempengaruhi berbagai sistem tatanan kehidupan di Indonesia. Tentu hal tersebut merupakan ancaman yang sangat besar terhadap keutuhan kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia, karena warga negara Indonesia dapat dengan mudah dipecah belah dengan pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan dengan Pancasila seperti paham sekularisme, plurarisme dan liberalisme.

Pada hakikatnya paham sekulerisme sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Al Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdha Al -Rasyidah adalah pemisahan agama dari kehidupan manusia atau pemisahan Tuhan dari kehidupan manusia. Sekularisme secara sederhana juga dapat didefinisikan sebagai doktrin yang menolak campur tangan nilai-nilai keagamaan dalam urusan manusia, singkatnya urusan manusia harus bebas dari agama atau dengan kata lain agama tidak boleh meng intervensi urusan manusia. Segala tata-cara kehidupan antar manusia adalah menjadi hak manusia untuk mengaturnya termasuk dalam urusan negara, Tuhan tidak boleh mengintervensinya.

Selanjutnya Pluralisme adalah sebuah paham yang mendoktrinkan bahwa kebenaran itu bersifat banyak atau tidak tunggal. Ada Pluralisme dalam agama, hukum, moral, filsafat dan lain sebagainya, dalam kajian ini akan kita ambil defenisi: “Hakekat dan keselamatan bukanlah monopoli satu agama tertentu, semua agama menyimpan hakikat yang mutlak dan sangat agung, menjalankan masing-masing progam agama bisa menjadi sumber keselamatan”. Terkait paham liberalisme sendiri, penulis mengutip pendapat Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Mazhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta kebanyakan bahwa tugas pokok pemerintahan adalah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu dan kebebasan agama. Dalam hal kebebasan agama, penganut paham liberalisme ini berhak menganut agama apapun sesuai keinginannya begitupun sebaliknya untuk memilih tidak menganut agama apapun.

Ketiga paham tersebut tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang terkadung dalam Pancasila. Jika di Eropa, paham sekularisme, pluralisme dan libelarisme sudah mulai ditinggalkan karena menimbulkan banyak bencana kemanusiaan termasuk didalamnya Korupsi dan berpolitik dengan menghalalkan segala cara, bahkan di Turki saat ini kaum Liberal Sekuler ditempatkan pada sebuah pulau khusus karena pemikiran mereka sudah tidak berlaku lagi di tengah-tengah masyarakat Turki hari ini dan partai berbasis Islam pun mulai terlihat berjaya sejak kepemimpinan Recep Tayyip Erdoğan terpilih menjadi presiden Turki. Karena sebelumnya Turki dalam cengkraman Sekular liberalisme. Kini, Turki kembali pada sistem berbasis agama. Indonesia, lagi-lagi dalam kondisi selalu yang “galau” dan “bingung”, ketika semua orang meninggalkannya Indonesia baru mulai menyerapnya dan penulis melihat jika eropa mulai maju dengan meninggalkan liberal sekulerisme, Indonesia dalam ancaman jurang kehancuran.

Sekali lagi, Indonesia dalam ancaman kekuatan “Jahat” yang sangat berbahaya untuk pertahanan nilai luhur bangsa, serbuan kebebasan tanpa batas dipayungi dengan sistem liberal sekularisme dan bersembunyi dibelakang HAM dan Kebebasan berekspresi terjadi. Lihatlah bagaimana kini, remaja Indonesia telah terpengaruh oleh budaya sekularisme yang tidak lagi mementingkan akan hadirnya Tuhan dalam setiap kehidupan, budaya barat mulai masuk dan ditiru misalnya pergaulan bebas (freesex) bahkan yang terbaru yaitu komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender(LGBT) dengan mengatasnamakan HAM mereka menghalalkan hubungan sesama jenis yang semakin menjerumuskan generasi penerus Bangsa Indonesia dalam budaya cinta dunia (Hedonisme). Tak hanya itu, hal tersebut mulai memasuki ranah politik dan hukum untuk mensahkan RUU Keadilan Keseteraan Gender (RUU KKG) yang sedang digodok sebagai bentuk buah hasil dari perjuangan kelompok Liberal Sekuler Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan perhatian khusus terhadap munculnya inisiaif RUU KKG tersebut, MUI berpandangan bahwa RUU KKG mengacu pada paham liberalisme dan nilai-nilai barat yang tidak memiliki basis filosofis, ideologis, sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi agama, budaya, etika dan moral. RUU KKG tidak mengacu pada Pancasila yang mengedepankan pentingnya nilai-nilai religiusitas dan Ketuhanan Yang Maha Esa. RUU KKG juga tidak mencamtumkan Pancasila sebagai sumber hukumnya sehingga wajar apabila isinya pun tidak mencerminkan Pancasila serta bertentangan pula dengan UUD 1945 antara lain bertentangan dengan Pasal 28I, 28J dan 29 UUD 1945.[2]

Fakta yang tentunya masih hangat dibeberapa surat kabar Indonesia tentunya munculnya pernyataan salah satu Cagub DKI yang menyatakan tidak boleh ta’at pada ayat suci dan lebih baik ta’at pada ayat Konstitusi yang membuat situasi umat beragama khususnya Islam merasa tersakiti hingga berdampak pada perpecahan antar umat beragama.

Sebagai Negara Pancasila, Dengan Dasar KETUHANAN YANG MAHA ESA, artinya semua warga negara Indonesia meyakini bahwa Tuhan itu Esa dan menjadikan Agama sebagai kepribadian bangsa, semua agama mengajarkan mana yang baik dan mana yang benar, mana yang halal dan mana yang haram,. Seperti halnya ketika umat Islam mengkritisi dan memprotes penampilan Julia Perez, Agnes Monica pun pernah diprotes Gerejawan Indonesia terkait penampilannya yang super seksi bahkan hampir terbuka ketika menerima penghargaan AMI Award beberapa tahun yang lalu, Artinya sampai disini kontrol Agama sangat kuat dan ini harus dilestarikan, dan inilah sesungguhnya yang dicontoh bangsa lain dari bangsa Indonesia.

Penulis mengerti, para penganut paham sekulerisme dan liberalisme tentu tidak suka dikekang dengan aturan agama. Yang menawarkan kebebasan seperti halnya Iblis menyatakan bebas untuk tidak melakukan Pengabdian kepada TUHAN, bahkan Iblis meminta Izin untuk mengajak manusia masuk Neraka buat menemaninya nanti. Itulah Iblis, dimana tidak mau diikat oleh ikatan agama. Ingin bebas sebebas-bebasnya tanpa batas. Setelah manusia bebas melakukan apapun sekehendaknya atas dasar kebebasan berfikir, kebebasan berbudaya dan kebebasan berekspresi tanpa batas, pada akhirnya target intinya adalah MENGHILANGKAN AGAMA. Agama akan termarginalkan demi kepentingan Syahwat kebebasan berekspresi menurut mereka.

Dampak terburuk dari marginalisasi agama adalah orang menjadikan agama hanya formalitas, bukan sebagai identitas, dia muslim tetapi tidak sholat ke masjid (Islam KTP), dia kristiani tetapi tidak misa ke gereja dan yang lainnya pun begitu, inilah dampak terburuk dari kekuatan jahat tersebut dimana Eropa saja sudah meninggalkannya, karena ketika Liberalisme  diterapkan tingkat kegelisahan di Negara-negara tersebut meningkat tajam.
Penulis mengutip sebuah Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat: 11-12, yang telah memperingatkan terhadap tipu daya orang-orang Sekularisme:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُو
أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya: “Dan bila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS. Al-Baqarah:11-12)

Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa orang-orang munafik adalah mereka yang pintar mencari dalil kebenaran (tipu daya kaum sekularisme dan liberalisme) di atas kesesatan, seperti mengatasnamakan HAM untuk membenarkan perbuatan setiap orang untuk tidak memilih agama apapun atau melakukan perkawinan sejenis seperti yang telah disinggung sebelumnya.

Penulis memberi kesimpulan dan saran bahwa Konsep Ketuhanan seperti yang termaktub dalam sila pertama Pancasila merupakan LANDASAN yang JELAS bagi negara Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjadi negara yang berideologi, mandiri dan beradab. Sehingga, kedepan Bangsa Indonesia harus kembali pada Ideologi Pancasila tersebut, bangga akan jati dirinya dengan mengimplementasikan setiap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila khususnya sila pertama agar tidak terjebak dalam paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme.

Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kehidupan beragama bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sila-sila yang lain. Oleh karena itu kehidupan beragama harus dapat membawa persatuan dan kesatuan bangsa, harus dapat mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradap, harus dapat menyehatkan pertumbuhan demokrasi, sehingga membawa seluruh rakyat Indonesia menuju terwujudnya keadilan dan kemakmuran lahir dan batin. Dalam hal ini berarti bahwa sila pertama memberi pancaran keagamaan, memberi bimbingan pada pelaksanaan sila-sila yang lain.

Konsep Ketuhanan juga sebagai sarana untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa, maka asas kebebasan memeluk agama ini harus diikuti dengan asas toleransi antar pemeluk agama, saling menghargai dan menghormati antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain dalam menjalankan ibadah menurut agama mereka masing-masing.

Kehidupan beragama tidak bisa dipisahkan sama sekali dari kehidupan duniawi atau kemasyarakatan. Keduanya merupakan satu sistem sebagaimana satunya jiwa dan raga dalam kehidupan manusia. Agama sebagai alat untuk mengatur kehidupan di dunia, sehingga dapat mencapai kehidupan akhirat yang baik. Kehidupan beragama tidak bias lepas dari pembangunan masyarakat itu sendiri, bangsa dan Negara demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran materiil maupun spiritual bagi rakyat Indonesia. Semakin kuat keyakinan dalam agama, semakin besar kesadaran tanggungjawabnya kepada Tuhan bangsa dan Negara, semakin besar pula kemungkinan terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu sistem untuk menanamkan lagi nilai-nilai Ketuhanan dalam jiwa masyarakat Indoneisa khususnya generasi muda dengan memberikan seminar kebangsaan atau memasukkan kurikulum keagamaan yang lebih menekankan pada penerapannya di setiap kehidupan.




[1] Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2013,. Tanya Jawab Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR, hlm. 7
[2] Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Keempat Tahun 2012 Tentang Masail Qanuniyyah poin 5 RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender.

Sabtu, 11 Februari 2017

“MAYDAY” Peringatan Tanpa Perbaikan


Tepatnya pada tangggal 1 Mei 1890 menjadi awal peringatan hari buruh internasional, disinilah titik balik perjuangan para buruh yang memperjuangkan hak-haknya. Berawal dari gagasan hari libur bagi pekerja yang ditetapkan pada 5 September 1882, dengan diadakannya parade Hari buruh di New York dengan mengusung spanduk “8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi.”. Itu adalah rangkaian perjuangan panjang kelas pekerja di Amerika untuk menuntut perbaikan kondisi kerja, karena di awal abad ke-19 selain upah minim, jam kerja yang panjang, rata-rata mencapai 19-20 jam per hari. Perlawanan atas kondisi itu diawali dengan pemogokan para pekerja Cordwainers (1806) yang membawa para organisatornya ke meja hijau. Pelopor gagasan untuk menghormati hak pekerja adalah Peter Mc. Guire dan Matthew Maguire.

1 Mei 1886, sekitar 400 ribu buruh di AS menggelar demo besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari. Aksi demo itu berlangsung 4 hari. Pada 4 Mei 1886 diadakan pawai besar-besaran yang memicu kemarahan polisi Amerika dan kemudian menembaki para demonstran hingga menewaskan ratusan orang, pemimpinnya ditangkap dan dihukum mati. Inilah yang kemudian dikenal dengan peristiwa Haymarket. Juli 1889, di Paris diadakan Kongres Sosialis Dunia yang menetapkan peristiwa Haymarket sebagai HARI BURUH SEDUNIA atau yang sekarang dikenal dengan “MAYDAY”.

Di Indonesia, Hari Buruh Internasional menjadi Hari Libur Nasional sejak diputuskannya keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Penetapan Tanggal 1 Mei  Menjadi Hari Libur. Padahal, sejak tahun-tahun sebelumnya serikat buruh/serikat pekerja di Jakarta, Lampung, Medan, Palembang dan kota-kota besar lainnya sudah melakukan aksi unjukrasa untuk memperingati hari buruh internasional tersebut. Jika dilihat lebih kebelakang lagi mengenai buruh di Indonesia, tentunya sangatlah jauh dari kata sejahtera, seperti buruh perkebunan sawit di Sumatera yang sejak 100 tahun lalu sudah berdiri. Sekarang bagaimana ? meski Indonesia sudah merdeka dan sudah berumur lebih dari setengah abad ternyata tak sejalan dengan perkembangan kesejahteraan buruh diperkebunan.
Buruh perkebunan di Indonesia masih menghadapi tindakan-tindakan represif dari pihak pengusaha, bahkan Negara melakukan pembiaran terhadap kondisi tersebut. Lokasi buruh yang terisolir dan budaya “nrimo” dikalangan buruh membuat penindasan yang terjadi tersimpan rapat didalam lingkungan perkebunan saja. Upah murah, buruh anak, kehidupan yang tidak layak hingga beban kerja yang tinggi merupakan masalah-masalah yang biasa ditemui dalam buruh perkebunan. Ucap, Herwin Nasution.SH Direktur Eksekutif OPPUK.

Selama ini, sudah terjadi bentuk praktik kerja paksa di perkebunan sawit, perusahaan sawit dengan memberikan upah murah, dimana kategori kerja paksa itu termasuk sistem kerja borongan, shift kerja yang tidak sesuai, pekerja tambahan diluar pekerjaan umum, pekerjaan diluar jam kerja tanpa dibayar. Alasan upah murah merupakan bentuk kerja paksa yang halus secara tidak langsung buruh terpaksa untuk bekerja lebih keras karena upah murah dan kebijakan denda. Karena upahnya tidak mencukupi dampaknya banyak terjadi kasus dimana shift kerja yang selayaknya dikerjakan oleh tiga orang dipaksa dikerjakan dua orang, pekerjaan tambahan yang dipaksa dikerjakan buruh untuk menutupi kekurangan pencapaian hasil kerja. Target yang tinggi ditetapkan oleh perusahaan perkebunan juga memaksa buruh untuk bekerja lagi diatas jam kerja yang layak (7 jam dalam sehari ) sesuai peraturan UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.


Pemerintah seharusnya menjadi penengah dalam hal ini, bukan malah bersekongkol dengan pengusaha untuk mencari keuntungan semata. Pemerintah harus membuat Peraturan Pemerintahan yang mengatur tentang buruh perkebunan sawit tentunya dengan mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 dan menekankan pada hak-hak yang dimiliki oleh buruh. Peraturan tersebut nanti harus dibarengi dengan tindakan dan pengawasan yang nyata melalui BKSPPS ( Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera ) sebagai serikat pekerja. Dengan begitu, Hari Libur Nasional 1 Mei yang sejatinya adalah untuk memfasilitasi hak-hak buruh untuk menyuarakan keinginannya akan terealisir dengan menjalin kerjasama dari Serikat buruh/pekerja dengan Perusahaan dan Pemerintah yang koordinatif untuk memperbaiki fasilitas dan jaminan sosial serta upah yang ditetapkan mencukupi bagi buruh maupun keluarganya. Sehingga MAYDAY tidak sekedar peringatan namun harus ada perbaikan dalam hal ketenagakerjaan di Indonesia.

JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...