Apasih Hukum Kritis dan Hukum Progresif itu ?
Ubi societas ibi ius, yah.. itulah kalimat yang terucap kurang lebih 19
abad yang lalu, sebuah pendapat yang dapat bertahan melintasi zaman sampai
sekarang dari seorang ahli filsuf dan
ahli hokum yang lahir di Roma. Adalah Marcus Tullius Cicero yang mengungkapkan “ubi
societas ibi ius”, yang berarti dimana ada masyarakat disitu ada hokum. Kalimat
yang sederhana namun argumennya sangat kuat, kalimat ini mengartikan bahwa hokum
tidak bisa dilepaskan dari tatanan masyarakat, dimana kedamaian dan
kesejahteraan di masyarakat hanya bisa tercapai apabila tatanan hokum di
masyarakat telah terbukti mendatangkan keadilan yang berjalan dengan efektif.
Berkaitan dengan apa itu hokum kritis
dan hokum progresif, alangkah lebih baik jika saya memberikan penjelasan
mengenai asal mula dan pengertian kedua prespektif hokum tersebut.
A. Hokum Kritis (gerakan study hokum kritis)
Hokum
kritis muncul karena ada suatu gerakan para akademisi hokum beraliran kiri (leftist),
tetapi kemudian dikembangkan juga oleh para praktisi hukum. Gerakan ini lahir
karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang
ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam
bidang-bidang sebagai berikut:
1. Terhadap pendidikan hukum.
2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum.
3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.
Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konfrensi di Wiscounsin Amerika tahun 1977 “ Confrence on Critical Legal Studies “ (Ifdleal Kasim) 1999 : 10). Beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam style, metode dan fokus, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti di Jerman, Prancis, dan negara lain. Mengadakan sebuah konferensi “Declaration Des Dreit De Home Et Du Citoyen” yaitu pada tahun 1789 di Perancis. Di Inggris, gerakan Critical Legal Studies ini dibentuk dalam konfrensi tentang Critical Legal Studies pada tahun 1984.
1. Terhadap pendidikan hukum.
2. Pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum.
3. Kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada.
Gerakan Critical Legal Studies ini mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konfrensi di Wiscounsin Amerika tahun 1977 “ Confrence on Critical Legal Studies “ (Ifdleal Kasim) 1999 : 10). Beberapa waktu setelah itu, kelompok-kelompok ahli hukum dengan paham yang serupa tetapi bervariasi dalam style, metode dan fokus, juga lahir secara terpisah dan independen di beberapa negara lain seperti di Jerman, Prancis, dan negara lain. Mengadakan sebuah konferensi “Declaration Des Dreit De Home Et Du Citoyen” yaitu pada tahun 1789 di Perancis. Di Inggris, gerakan Critical Legal Studies ini dibentuk dalam konfrensi tentang Critical Legal Studies pada tahun 1984.
Gerakan
ini dilatarbelakangi oleh kultur politik yang serba radikal dalam dekade
1960-an. Meskipun gerakan-gerakan demikian bervariasi dalam konsep, fokus dan
metode yang dipergunakan, dalam gerakan ini mengandung kesamaan-kesamaan
tertentu, terutama dalam hal protes terhadap tradisi dominan dari hukum yang
ortodok dalam bentuk tradisi hukum tertulis yang baku (black latter law). Akan
tetapi, dipihak lain pada waktu yang bersamaan, gerakan Critical Legal Studies
juga mengakui keterbatasan dari pendekatan Sociolegal terhadap hukum, yang
mencoba menggunakan bantuan ilmu-ilmu lain dalam menelaah hukum, meskipun
pendekatan Sociolegal tersebut sebenarnya untuk memecahkan kebekuan pendekatan
ortodok dari hukum yang bersifat black latter law tersebut. Aliran Studi Hukum
Kritis ini mempunyai beberapa karakteristik umum sebagai berikut:
1. Aliran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya
memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral.
2. Ajaran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan
ideologi tertentu
3. Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan
individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan
dengan emansipasi kemanusiaan.
4. Ajaran Studi Hukum Kritis ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang
abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran Studi Hukum
Kritis ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum
5. Aliran Studi Hukum Kritis ini menolak antara teori dan praktek, dan menolak
perbedaan teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai
(value), yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian, aaliran
Studi Hukum Kritis ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih
menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial
praktis.
Pada prinsipnya, Studi Hukum Kritis menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut:
1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum.
2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat
dimengerti.
3. Hukum itu netral. Artinya, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.
1. Aliran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya
memihak ke politik, dan sama sekali tidak netral.
2. Ajaran Studi Hukum Kritis ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan
ideologi tertentu
3. Aliran Studi Hukum Kritis ini mempunyai komitmen yang besar terhadap kebebasan
individual dengan batasan-batasan tertentu. Karena itu aliran ini banyak berhubungan
dengan emansipasi kemanusiaan.
4. Ajaran Studi Hukum Kritis ini kurang mempercayai bentuk-bentuk kebenaran yang
abstrak dan pengetahuan yang benar-benar objektif. Karena itu, ajaran Studi Hukum
Kritis ini menolak keras ajaran-ajaran dalam aliran positivisme hukum
5. Aliran Studi Hukum Kritis ini menolak antara teori dan praktek, dan menolak
perbedaan teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta (fact) dan nilai
(value), yang merupakan karakteristik dari paham liberal. Dengan demikian, aaliran
Studi Hukum Kritis ini menolak kemungkinan teori murni (pure theory), tetapi lebih
menekankan pada teori yang memiliki daya pengaruh terhadap transformasi sosial
praktis.
Pada prinsipnya, Studi Hukum Kritis menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan sebagai berikut:
1. Hukum itu objektif. Artinya, kenyataan adalah tempat berpijaknya hukum.
2. Hukum itu sudah tertentu. Artinya, hukum menyediakan jawaban yang pasti dan dapat
dimengerti.
3. Hukum itu netral. Artinya, yakni tidak memihak pada pihak tertentu.
B. Hokum progresif
Pertanyaan tentang apa sebenarnya
hukum progresif dan posisinya dalam aliran hukum yang berkembang mengemuka
dalam Konsorsium Hukum Progresif yang berlangsung selama dua hari di Semarang,
29-30 November 2013. Lebih dari enam puluh makalah disampaikan dalam perhelatan
itu, semua mencoba menggambarkan wujud hukum progresif dalam berbagai bidang.
Bahkan seorang peserta bertanya dalam forum apa sebenarnya hukum progresif,
karena ternyata masing-masing orang menafsirkan hukum progresif itu berdasarkan
versinya.
Pada penutupan acara, Direktur
Satjipto Rahardjo Institute, Prof. Suteki, mengatakan tak mudah menjawab hukum
progresif per definisi karena ia adalah hukum yang terus berkembang. Almarhum
Prof. Tjip menyebut hukum itu berkualitas sebagai ilmu yang senantiasa
mengalami pembentukan, legal science is always in the making. Hukum
progresif adalah gerakan pembebasan karena ia bersifat cair dan senantiasa
gelisah melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya.
Hukum progresif memang telah
berkembang sedemikian rupa sejak Satjipto Rahardjo menggagasnya. Gagasan itu
pertama-tama didasari keprihatinan terhadap kontribusi rendah ilmu hukum di
Indonesia untuk mencerahkan bangsa keluar dari krisis, termasuk krisis di
bidang hukum.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM Yogyakarta
yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, mengelaborasi
pikiran-pikiran hukum progresif ke dalam 13 karakter. Antara lain hukum
progresif bukan hanya teks, tetapi juga konteks. Hukum progresif mendudukkan
kepastian, keadilan dan kemanfaatan dalam satu garis. Jadi, hukum yang terlalu
kaku akan cenderung tidak adil. Hukum progresif bukan hanya taat pada formal
prosedural birokratis tetapi juga material-substantif. Tetapi yang tak kalah
penting adalah karakter hukum progresif yang berpegang teguh pada hati nurani
dan menolak hamba materi. “Hukum itu harus berhati nurani,” kata Guru Besar
Universitas Parahyangan Bandung, B. Arief Sidharta.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Moh.
Mahfud MD juga mengakui hukum progresif sulit dibuat per definisi. Bagi seorang
hakim, hukum progresif adalah hukum yang bertumpu pada keyakinan hakim, dimana
hakim tidak terbelenggu pada rumusan Undang-Undang. Mengunakan hukum progresif,
seorang hakim berani mencari dan memberikan keadilan dengan melanggar
Undang-Undang. Apalagi, tak selamanya Undang-Undang bersifat adil.
Salah satu contoh Undang-Undang yang
tidak adil adalah UU Pemilu yang hanya mengizinkan partai politik
yang punya kursi di DPR yang boleh ikut pemilu pada 2009. Aturan semacam itu
dinilai Mahfud sebagai bentuk kolusi yang tidak memberikan rasa keadilan.
Walhasil, Mahkamah Konstitusi menggunakan optik hukum progresif untuk
membatalkan regulasi itu.
Secara singkat, Teori Hukum Progresif
yang dicetuskan oleh Profesor Satjipto Rahardjo ini menegaskan bahwa hukum
adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya.
“Hukum itu bukan hanya bangunan
peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita” (Profesor
Satjipto Rahardjo).
Prof. Satjipto Raharjo, S.H., yang
menyatakan pemikiran hukum perlu kembali pada filosofis dasarnya, yaitu hukum
untuk manusia. Dengan filosofis tersebut, maka manusia menjadi penentu dan
titik orientasi hukum. Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh
karena itu, hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan
manusia. Mutu hukum ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi pada
kesejahteraan manusia. Ini menyebabkan hukum progresif menganut “ideologi” :
Hukum yang pro-keadilan dan Hukum yang Pro-rakyat.Berdasarkan teori ini
keadilan tidak bisa secara langsung ditemukan lewat proses logis formal.
Keadilan justru diperoleh lewat institusi, karenanya, argument-argumen logis
formal “dicari” sesudah keadilan ditemukan untuk membingkai secara
yuridis-formal keputusan yang diyakini adil tersebut. Oleh karena itu konsep
hukum progresif, hukum tidak mengabdi bagi dirinya sendiri, melainkan untuk
tujuan yang berada di luar dirinya.
Dalam masalah penegakan hukum,
terdapat 2 macam tipe penegakan hukum progresif :
1.
Dimensi
dan faktor manusia pelaku dalam penegakan hukum progresif. Idealnya, mereka
terdiri dari generasi baru profesional hukum yang memiliki visi dan filsafat
yang mendasari penegakan hukum progresif.
2.
Kebutuhan
akan semacam kebangunan di kalangan akademisi, intelektual dan ilmuan serta
teoritisi hukum Indonesia.
Nah, itu dia asal
mula dan penjelasan mengenai hokum kritis dan hokum progresif. Kesimpulan dari
saya bahwa hokum kritis adalah sebuah gerakan yang menentang atau mencoba
mengkritisi Perundang-undangan atau aturan yang ada yang dinilai kurang dalam
pembuatan dan implementasi aturan tersebut, hokum kritis mencoba untuk
memberikan sebuah perubahan terhadap hokum agar lebih berkembang dan
menciptakan sebuah kesejahteraan rakyat (welfare) sedangkan hokum progresif
ditujukan agar hokum itu untuk mensejahterakan, memberikan keadilan dan
kepastian hokum bukan manusia yang menuruti hokum seperti yang diungkapkan oleh
Prof. DR. Satjipto Rahardjo. Dan pada intinya, kedua prespektif hokum
ini merujuk pada hokum positif (hokum yang saat ini digunakan) atau disebut
juga “das sein” dan bersama-sama menciptakan sebuah penemuan atau hukum baru
yang masih dicita-citakan atau “das sollen”. Akhirnya, hukum itu dikembalikan lagi kepada masyarakat, hukum ada karena masyarakat "ibi ius ubi societas" dan keadilan harus dijunjung tinggi tanpa memandang bulu serta hukum harus ditegakkan kepada yang melanggar seperti yang tersirat dalam lambang "the lady justice".
Mungkin tulisan saya bias bermanfaat bagi
pembaca baik itu : mahasiswa, dosen, akademisi ataupun yang hanya iseng membaca
dan saya sadar masih banyak kekurangan dari tulisan ini jadi mohon kritik dan
sarannya ya. :D
Sumber :
Artikel-artikel mengenai hokum kritis
dan progresif
Prof. DR. Satjipto Rahardjo, SH, Aneka
Persoalan Hukum dan Masyarakat, Penerbit Alumni Bandung, 1983.