“ETIKA DAN MORAL PARA PROFESI HUKUM DI INDONESIA”
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Hakikatnya manusia adalah
makhluk moral. Untuk menjadi makhluk sosial yang memiiki kepribadian baik serta
bermoral tidak secara otomatis, perlu suatu usaha yang disebut pendidikan.
Menurut pandangan humanisme manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan
dirinya ketujuan yang positif dan rasional. Manusia dapat mengarahkan,
mengatur, dan mengontrol dirinya. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan ialah
upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran
(intelek), dan jasmani (Slamet Sutrisno, 1983, 26). Moralitas pun berasal dari
nilai nilai atau norma yang ada dimasyarakat, oleh sebab itu di negara
Indonesia, kehidupan manusia dalam bermasyarakat diatur oleh hukum juga diatur
oleh norma-norma agama, kesusilaan, dan kesopanan, serta kaidah-kaidah lainnya.
Kaidah-kaidah sosial itu mengikat dalam arti dipatuhi oleh anggota masyarakat
di mana kaidah itu berlaku. Hubungan antara hukum dan kaidah-kaidah sosial
lainnya itu saling mengisi.
Hukum ibarat sebuah pisau,
tajam kebawah dan tumpul keatas, itulah realita dimasyarakat yang ada saat ini.
Dimana golongan orang-orang tertentu dengan kekuasaannya dapat membuat hukum
itu tunduk dengan dirinya bukan dia yang seharusnya tunduk pada hukum, mereka yang
melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan lain hal yang seharusnya mendapat
hukuman sangat berat seolah dengan mudah mereka menghindar tanpa memikirkan apa
dampak dari yang mereka perbuat, sedangkan golongan yang lemah semakin
menderita tanpa ada pembelaan dengan hukum yang menjerat mereka dengan tajam
tanpa belas kasih. Padahal hukum itu ada untuk menciptakan keadilan yang
hakiki, seperti pendapat dari Prof Subekti S.H. “Hukum bertujuan untuk menyelenggarakan sebuah keadilan dan
ketertiban sebagai syarat untuk mendatangkan kebahagiaan dan kemakmuran.”
Sehingga pada dasarnya para penegak hukum khususnya hakim dalam menyelesaikan
masalah hukum harus dapat mencari keadilan yang sebenar-benarnya dengan
memperhatikan hati nurani bukan sebagai corong undang-undang.
Dalam menjalankan profesi
dibidang hukum seharusnya para penegak hukum sangat memahami apa itu arti
hukum, untuk apa hukum ada dan bagaimana menciptakan keadilan untuk menjaga
ketertiban yang dapat dirasakan oleh setiap masyarakat tanpa pandang bulu. Di
Indonesia, di negeri yang kita cintai ini, hal hal semacam itu sudah menjadi
rahasia umum, dimana mereka yang berprofesi sebagai hakim, jaksa, panitera
bahkan pengacara pun sudah dicap sebagai makelar peradilan, berbagai kasus
telah terungkap yang semakin menurunkan citra peradilan di Indonesia inilah yang semakin mengiris hati, karena
pada dasarnya merekalah yang seharusnya menegakkan hukum di dunia ini, tanpa
mereka tak ada lagi yang membela dan menegakkan hukum di negeri ini makna dari
pembukaan dalam setiap putusan hakim yaitu “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan
Yang Maha Esa” seperti hanya sekedar hitam di atas putih tanpa tertancam dalam
di hati nurani mereka.
B.
Rumusan masalah
1. Bagaimana kaitan antara nilai
moral dengan sebuah profesi hukum ?
2. Bagaimana pelaksaan hukum di
Indonesia dalam mencapai Cita Hukum yaitu Keadilan dan Ketertiban ?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pentingnya
nilai moral jika dikaitkan dengan sebuah profesi khususnya profesi di bidang
hukum
2. Untuk mengetahui sejauh mana
pelaksaan hukum di Indonesia dalam mencapai Cita Hukum yaitu Keadilan dan
Ketertiban
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ETIKA PROFESI HUKUM
Istilah
Etika berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya cara berpikir,
kebiasaan, adat, perasaan, sikap, karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika
tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan
antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang
buruk. Etika berasal dari bahasa latin disebut ethos atau ethikos.
Kata ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan dalam bentuk jamak adalah ta etha
istilah ini juga kadang kadang disebut juga dengan mores, mos yang juga berarti
adat istiadat atau kebiasaan yang baik sehingga dari istilah ini lahir
penyebutan moralitas atau moral.[1]
Manfaat
etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang baik dan benar dari diri pribadi,
sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya,
pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi
masyarakat, dan karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara
terhormat didalam masyarakatnya.
Di
sisi lain, etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika khusus
selanjutnya dibedakan lagi menjadi etika individual dan etika sosial. Pembedaan
etika menjadi etika umum dan etika khusus ini dipopulerkan oleh Magnis Suseno
dengan istilah etika deskriptif. Lebih lanjut Magnis Suseno menjelaskan bahwa
etika umum membahas tentang prinsip-prinsip dasar dari moral, seperti tentang
pengertian etika, fungsi etika, masalah kebebasan, tanggung jawab, dan peranan
suara hati. Di lain pihak, etika khusus menerapkan prinsip-prinsip dasar dari
moral itu pada masing-masing bidang kehidupan manusia. Adapun etika khusus yang
individual memuat kewajiban manusia terhadap diri sendiri sedangkan etika
sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia.
Telah jelas, etika yang berlandaskan pada nilai-nilai moral kehidupan manusia,
sangat berbeda dengan hukum yang bertolak dari salah benar, adil atau tidak
adil.
Hukum merupakan instrumen eksternal sementara moral adalah instrumen
internal yang menyangkut sikap pribadi, disiplin pribadi yang oleh karena itu
etika disebut juga “disciplinary rules.”Sebagai suatu subyek, etika akan
berkaitan dengann konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk
menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar,
buruk atau baik.
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris
“Profess”, yang dalam bahasa Yunani adalah “Επαγγελια”, yang bermakna: Janji
untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen”.
Paling sedikit ada tiga macam norma sosial yang menjadi pedoman bagi
manusia untuk berperilaku dalam masyarakat, yaitu norma kesopanan atau etiket,
norma hukum dan norma moral atau etika. Etika atau sopan santun, mengandung
norma yang mengatakan apa yang harus kita lakukan. Selain itu baik etika maupun
etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya memberi norma bagi
perilaku manusia. Dengan demikian keduanya menyatakan apa yang harus dilakukan
dan apa yang tidak harus dilakukan.
Rumusan konkret dari sistem etika bagi profesional dirumuskan dalam suatu
kode etik profesi yang secara harfiah berarti etika yang dikodifikasi atau,
bahasa awamnya, dituliskan. Bertens menyatakan bahwa kode etik ibarat kompas
yang memberikan atau menunjukkan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin
mutu moral profesi itu di dalam masyarakat.
anggotanya dengan mengadakan larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang akan merugikan kesejahteraan materiil para anggotanya.
B. PENTINGNYA MORAL DAN HUKUM
Manusia dan hukum adalah dua identitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan
dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas
ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam
setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka
selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas
berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai
“semen perekat” tersebut adalah hukum.Untuk mewujudkan keteraturan, maka
mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara
dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan
tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata
pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur (kekuasaan).
Pada dasarnya nilai, moral,
dan hukum mempunyai fungsi yaitu untuk melayani manusia. pertama, berfungsi
mengingatkan manusia untuk melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama
sebagai bagian dari masyarakat. kedua,menarik perhatian pada
permaslahan-permasalahan moral yang kurang ditanggapi manusia. Ketiga, dapat
menjadi penarik perhatian manusia kepada gejala “Pembiasaan emosional”
Selain itu fungsi
dari nilai, moral dan hukum yaitu dalam rangka untuk pengendalian dan
pengaturan. Pentingnya system hukum ialah sebagai perlindungan bagi
kepentingan-kepentingan yang telah dilindungi agama, kaidah kesusilaan dan
kaidah kesopanan karena belum cukup kuat untuk melindungi dan menjamin
mengingat terdapat kepentingan-kepentingan yang tidak teratur. Untuk melindungi
lebih lanjut kepentingan yang telah dilindungi kaidah-kaidah tadi maka
diperlukanlah system hukum.
K. Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan
moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas
(hukum lebih dibukukan daripada moral), kedua, meski hukum dan
moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah
laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin
seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda
dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum
didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan
moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan
masyarakat.
C. Pelaksanaan Hukum dan Hambatan-Hambatannya.
Hukum adalah seperangkat
norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat dan diakui
eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan tertulis
(peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi
pelanggar aturan tersebut (Achmad Ali). Hukum yang berlaku bagi suatu negara
mencerminkan perpaduan antara sikap dan pendapat pimpinan pemerintahan negara
dan keinginan masyarakat luas mengenai hukum tersebut. Letak perbedaan
hukum dan moral, yaitu norma-norma moral itu berakar pada batin manusia,
sedangkan peraturan-peraturan hukum itu lain karena hukum positif mengendalikan
kemungkinan paksaan, ialah paksaan yang diatur dalam negara harus dilaksanakan.
Sesuatu itu hanya menurut hukum diwajibkan, karena hukum mengatakannya, dan
hukum itu hanya mengikat karena dibentuk dengan cara yang ditunjuk oleh
Undang-Undang Dasar. Dan UUD itu mengikat karena UUD itu merupakan kesepakatan
seluruh rakyat dalam negara.
Hukum yang berlaku
terdiri dari dan diwujudkan oleh aturan-aturan hukum yang saling berhubungan,
dan oleh karena itu keberadaannya merupakan suatu susunan atau tatanan sehingga
disebut tata hukum. Tata hukum di Indonesia ditetapkan oleh masyarakat hukum
Indonesia atau oleh negara Indonesia. Oleh sebab itu tata hukum Indonesia ada
sejak Proklamasi Kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini berarti
bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk
menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum bangsa Indonesia
dengan tata hukumnya yang baru ialah Tata Hukum Indonesia.
Ø
Pelaksana
Hukum.
Pelaksana atau penegak hukum dalam tatanan hukum di
Indonesia terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman. Kendati, dalam
ketentuan perundangan lembaga-lembaga ini terpisah, namun masih memiliki jalur
koordinasi keatasnya, hingga ke presiden. Lembaga-lembaga tersebut tidak ada
yang bebas dan independen, karena garis koordinasi bersifat vertikal
bertanggung jawab kepada kepala negara.
1.
Kepolisian.
Tugas
Kepolisian menurut UU Kepolisian Bab III Pasal 13 yaitu:
a)
Selaku alat negara
penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum.
b)
Melaksanakan tugas
kepolisian selaku pengayom dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat
bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan.
c)
Bersama-sama dengan
segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya membina
ketentraman masyarakat dalam wilayah negara guna mewujudkan keamanan dan
ketertiban masyarakat.
d)
Membimbing masyarakat
bagi terciptanya kondisi yang menunjang terselenggaranya usaha dan kegiatan
sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c.
Kendati jajaran kepolisian kian
berbenah dengan semboyan profesionalisme dan melayani kepentingan masyarakat,
namun dalam prakteknya kerap terjadi distorsi
kebijakan. Masyarakat sering mempertanyakan eksistensi pihak kepolisian
ini.
Pertama mengenai aspek kemaksimalan tugas, Kedua Sensitifitas problema/kriminalitas
masyarakat, Ketiga, Kejujuran dan
Kenetralan Tugas. Badan (lembaga) yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat
ternyata sekarang menjadi lembaga angker dan menakutkan.
2.
Kejaksaan.
Tugas
kejaksaan menurut Keputusan Presiden RI No. 86 Tahun 1999 pada Bab I Pasal 2,
yaitu: “Kejaksaan mempunyai tugas melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan serta
turut menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di
bidang hukum”.
Lembaga
ini memiliki banyak masalah yang juga meresahkan masyarakat. Jaksa selaku
Penuntut Umum telah juga ternoda, karena ulah sebagian oknum jaksa nakal dan
silau dengan materi. Kenakalan jaksa tidak hanya dalam kasus-kasus yang telah
dilimpahkan di Pengadilan. Namun, kenakalan itu juga di luar Pengadilan. Misalnya,
kasus-kasus yang masih dalam tahap penyelidikan/penyidikan. Di tingkat
penyelidikan atau penyidikan kerap terjadi penyalah-gunaan wewenang.
Tertuduh/tersangka atau keluarganya bisa saja melobi jaksa yang
menyelidik/menyidik kasusnya meminta kasusnya di-peti es-kan atau istilah
formalnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyelidikan).
3.
Kehakiman.
Kekuasaan
kehakiman dapat dilihat dalam UU Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III Pasal
19. Sedangkan tugas pokok hakim yaitu: “Menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara (melaksanakan persidangan)”.[2]
Departemen
kehakiman hingga kini belum mampu memberantas kenakalan para hakim di seluruh
negeri ini. Betapa tidak, sebenarnya munculnya cibiran tentang mafia peradilan lebih ditujukan kepada
para hakim. Kita tahu, wajah hukum negeri ini telah dicoreng dengan banyaknya
kasus-kasus yang terjadi karena praktik vonis yang tanpa dasar atau cenderung
menurut selera para hakim. Dari hari ke hari, Lembaga ini kerap ditunding melahirkan
hakim nakal. Putusan-putusan hakim sering mengusik hati nurani dan rasa
keadilan masyarakat. Kita tentu masih ingat misalnya Tommi Suharto yang
seabrek-abrek kejahatannya, divonis hanya 15 tahun penjara. Anehnya, beberapa
hari mendekam dipenjara, tanpa dasar dan alasan yang rasional ia
mendapatkan keringanan masa tahanan (remisi). Dan masih banyak lagi kasus-kasus
kelas kakap yang belum dapat dituntaskan pihak Kejaksaan. Sebenarnya,
praktik mafia peradilan tidak hanya ditujukan kepada dua lembaga tersebut, tapi
juga dengan pengacara. Sekarang ini, tugas pengacara banyak mengalami perubahan
fungsi. Semula mendampingi klien dan membelanya, baik di dalam maupun di luar
Pengadilan (litigasi dan non litigasi). Kini, sudah bergeser menjadi calo
perkara dan pelobi atau makelar kasus. Meski tidak semua, namun kebanyakan
pengacara menangani perkara karena pertimbangan financial, sekalipun mereka
harus mematikan hati nurani. Ukuran keberhasilan (menang) suatu kasus bukan
karena kemampuan analisis cerdas pengacara dalam mengotopsi dan menggali dasar
hukum kasus yang sedang ditangani, melainkan berdasarkan kalkulasi seberapa
banyak uang klien yang akan disuguhi kepada hakim yang menangani suatu kasus.
Ø
Hambatan-hambatan
Penegakan Hukum
Penegakan hukum adalah merupakan suatu kewajiban yang
mutlak harus diadakan dalam negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Kewajiban
tersebut bukan hanya dibebankan pada petugas resmi yang telah ditunjuk dan
diangkat oleh Pemerintah akan tetapi adalah juga merupakan kewajiban dari pada
seluruh warga masyarakat. Bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa kadang-kadang
terdapat noda hitam dalam praktek penegakan hukum yang perlu untuk dibersihkan
sehingga hukum dan keadilan benar-benar dapat ditegakkan. Sebagai salah satu pilar yang sangat
penting dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
penyelesaian berbagai permasalahan hukum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia
harus diakui tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Hambatan-hambatan yang
dihadapi antara lain:
1. Kurang optimalnya komitmen para pemegang fungsi
pembentukan perundang-undangan dalam mematuhi Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) dan lemahnya koordinasi antarinstansi/lembaga dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan karena masing-masing mempunyai
kepentingan (ego sektoral). Akibatnya, ketidakpastian dan penegakan peraturan
perundang-undangan lebih mengemuka dan pada akhirnya rakyatlah yang dirugikan
karena sangat bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban dan
ketenteraman.
2. Kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum
yang lain juga masih belum memperlihatkan kinerja yang menggembirakan. Dapat
dilihat dari banyaknya kasus yang diputuskan oleh pengadilan yang bersifat
kontroversial, yang bertentangan dengan moral dan rasa keadilan masyarakat.
3. Kurangnya pengetahuan aparat penegak hukum terhadap
perkembangan kejahatan yang sifatnya sudah dalam lingkup kejahatan antarnegara
(transnational crime) terutama mengenai tindakan pencucian uang termasuk
uang dari hasil korupsi.
4. Kurangnya tenaga perancang peraturan
perundang-undangan (legal drafter)yang berkualitas sehingga sering
menimbulkan multiinterpretasi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan,
baik di pusat maupun di daerah.
5. Rendahnya moral penegak hukum dan masyarakat di
Indonesia. Menimbulkan berbagai kasus dalam hukum seperti korupsi, mafia hukum,
dan mafia pajak dimana kasus-kasus ini menyeret para pejabat tinggi di
pengadilan.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nilai moral dan hukum mempunyai keterkaitan
yang sangat erat sekali. Pada dasarnya nilai, moral, dan hukum mempunyai fungsi
yaitu untuk melayani manusia. pertama, berfungsi mengingatkan manusia untuk
melakukan kebaikan demi diri sendiri dan sesama sebagai bagian dari masyarakat.
kedua, menarik perhatian pada permasalahan-permasalahan moral yang kurang
ditanggapi manusia. Ketiga, dapat menjadi penarik perhatian manusia kepada
gejala “Pembiasaan emosional”.
Nilai-nilai moral mengandung nasihat,
wejangan, petuah, peraturan, dan perintah turun temurun melalui suatu budaya
tertentu. Sedangkan etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai
dan norma manusia yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan perilaku hidup
manusia. Karena etika dan moral saling mempengaruhi, maka keduanya tentu
memiliki hubungan yang erat dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Norma sebagai bentuk perwujudan dari etika dan moral yang tumbuh dan berkembang
di masyarakat.
Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam
pelaksanaan hukum di Indonesia antara lain: Kurang optimalnya komitmen para
pemegang fungsi pembentukan perundang-undangan dalam mematuhi Program Legislasi
Nasional (Prolegnas), Lemahnya koordinasi antarinstansi/lembaga dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan, Kinerja lembaga peradilan dan lembaga
penegak hukum yang masih belum
memperlihatkan kinerja yang menggembirakan. Kurangnya pengetahuan aparat
penegak hukum terhadap perkembangan kejahatan yang sifatnya sudah dalam lingkup
kejahatan antarnegara (transnational crime) terutama mengenai tindakan pencucian
uang termasuk uang dari hasil korupsi. Kurangnya tenaga perancang peraturan
perundang-undangan (legal drafter) yang berkualitas. Upaya untuk meningkatkan
kesadaran hukum dan pemahaman terhadap pelindungan dan penghormatan HAM masih
belum memberikan dampak yang menggembirakan dalam masyarakat. Rendahnya moral
penegak hukum di Indonesia.
B. SARAN
Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia dewasa
ini, telah banyak orang-orang intelektual seperti para pejabat tinggi Indonesia
saat ini. Namun ketika intelektual tersebut tidak diimbangi dengan moralitas
maka yang terjadi adalah banyaknya kasus-kasus beramoral seperti korupsi yang
menyeret mereka ke dalam pengadilan. Oleh sebab itu, kita sebagai penerus muda
yang akan menggantikan posisi pejabat tinggi Indonesia saat ini, sebaiknya
mulai berbenah diri, tidak hanya menuntut ilmu saja, namun juga harus diimbangi
dengan pendidikan moral agar kelak kita bisa menjadi pemimpin negara yang
bermoral. Karena apa artinya hukum jika tidak disertai moralitas. Hukum dapat
memiliki kekuatan jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak pada
bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong dan hampa.