Penulis:
Abdul Rahman PN, S.H. (Pegiat PAHAM Lampung)
Munculnya
gerakan radikalisme dalam kampus yang mengatasnamakan Islam, seperti kasus pengangkatan
calon rektor yang terindikasi pengikut atau simpatisan gerakan Islamic State Iraq
and Syria (ISIS) dan Deklarasi Penegakkan Syariat
Islam oleh sejumlah Mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Bogor yang
dianggap radikal oleh pemerintah. Membuat pemerintah harus cepat dan tanggap mengambil
tindakan terhadap kasus tersebut guna menghindari gerakan radikalisme yang
menggunakan kampus sebagai wadah pergerakan dan membangun ideologi radikalisme.
Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam kesempatannya saat peringatan Hari Pancasila
tanggal 1 Juni 2017 kemarin, menjelaskan tentang wacana bahwa pemilihan rektor menjadi kewenangan dari Presiden guna
memberikan pemahaman kepada calon rektor terhadap pentingnya nilai-nilai
Pancasila. Sebagaimana dikutip dalam Kompas.com: "Penentuan rektor akan
diambil langsung oleh bapak Presiden, tidak boleh Menristek Dikti. Ini yang
kami usulkan. Syukur bisa di Istana pelantikannya," kata Tjahjo di
Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Kamis (1/6/2017). Pernyataan Mendagri
tersebut ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat terkait usulan tersebut
kepada Menteri Sekretaris Negara Praktikno dan Menteri Sekretaris Kabinet
Pramono Anung kepada Menristek dan Dikti M Nasir.
Namun
yang menjadi pro dan kontra mengenai wacana tersebut saat ini adalah apakah
tepat apabila Presiden turun langsung dalam pemilihan dan pengangkatan rektor
disetiap universitas di Indonesia ?
Menurut
penulis, justru hal tersebut akan menimbulkan preseden buruk bagi rezim pemerintah yang saat ini sedang berjalan. Masyarakat
khususnya masyarakat kampus baik dosen maupun mahasiswa akan menilai bahwa
dengan direalisasikannya wacana tersebut maka telah terjadi kemunduran
demokrasi di tatanan perguruan tinggi serta pemerintahan yang sedang berjalan
saat ini terkesan ingin sekali mengendalikan setiap aspek yang ada termasuk
perguruan tinggi. Padahal seharusnya perguruan tinggi harus bersih dari campur
tangan kekuasaan (politik) sebagai garda terdepan mengawal setiap kebijakan
pemerintah.
Berkaitan
dengan mekanisme pemilihan dan pengangkatan rektor pada dasarnya sudah diatur
dalam Permenristekdikti Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian
Rektor/ Ketua/ Direktur Pada Perguruan Tinggi Negeri, yang menjelaskan bahwa mekanisme
yang harus dilalui oleh para bakal calon rektor sesuai Permenristekdikti tersebut
yaitu tahap penjaringan bakal calon yang dilakukan oleh senat. Setelah menghasilkan
tiga calon, nama tersebut diajukan ke Menristekdikti, lalu menteri dan senat
melakukan pemilihan dalam sidang senat. Dalam hal ini menteri dapat memberikan
kuasa kepada pejabat yang ditunjuk. Pemilihan dilakukan melalui pemungutan
suara secara tertutup. Apabila dua calon rektor memperoleh suara tertinggi
dalam jumlah sama dilakukan pemungutan suara putaran keda dengan cara sama.
Baru kemudian menteri menetapkan rektor terpilih dengan perolehan suara
terbanyak. Dalam pemilihan rektor, menteri memiliki suara sebesar 35%,
sementara senat memiliki porsi lebih banyak yaitu 65%.
Merujuk pada ketentuan tersebut di atas,
dapat kita lihat bahwa peran senat sebagai perwakilan dosen dan mahasiswa
disetiap perguruan tinggi sangat besar dalam menentukan siapakah yang layak
menjadi rektor. Hal tersebut tentu sangat masuk akal, karena memang senatlah yang
mengetahui secara jelas track record
dari para calon rektor di setiap perguruan tinggi masing-masing.
Dengan mekanisme yang telah jelas
tersebut, apabila wacana pemilihan rektor ditentukan oleh Presiden direalisasikan
sudah barang tentu harus ada aturan yang mengaturnya terlebih dahulu, kemudian
apabila Presiden berwenang untuk menentukan pemilihan calon rektor, lalu akan
dikemanakan suara mahasiswa dan dosen yang diwakili oleh para senat serta
bagaimana jika rektor yang terpilih tidak sesuai dengan visi dan misi perguruan
tinggi, karena pada dasarnya Presiden tidak mengenal secara jelas siapa calon
rektornya?
Untuk itu, menurut penulis wacana
pemilihan rektor ditentukan oleh presiden merupakan suatu kebijakan yang tidak
tepat dan justru akan menimbulkan masalah baru. Jika pemerintah ingin
menghindari gerakan radikalisme dalam kampus, tidak perlu harus presiden
langsung yang turun untuk ikut campur dalam urusan pemilihan rektor, biarkan
itu tetap menjadi kewenangan kemenristekdikti dan senat setiap perguruan tinggi
sesuai dengan aturan yang ada. Kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah
dalam hal ini kemenristekdikti adalah dengan tindakan preventif atau pencegahan
melalui pembuatan peraturan menteri terkait dengan larangan adanya gerakan
radikalisme dikampus disertai dengan sanksi administrasi dan juga memberikan
penyuluhan atau sosialisasi terhadap setiap perguran tinggi di Indonesia guna
menanamkan nilai-nilai Kebangsaan , Nasionalisme dan Keagamaan yang terkandung dalam Pancasila.
Dengan tindakan preventif tersebut yang dilakukan secara masif dan terus-menerus diharapkan akan memberikan wawasan dan pemahaman kepada civitas akademika perguran tinggi untuk menjauhi setiap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila baik itu Radikalisme terhadap agama maupun Komunisme.
Dengan tindakan preventif tersebut yang dilakukan secara masif dan terus-menerus diharapkan akan memberikan wawasan dan pemahaman kepada civitas akademika perguran tinggi untuk menjauhi setiap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila baik itu Radikalisme terhadap agama maupun Komunisme.