Rabu, 16 Oktober 2019

JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI



Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terkait dengan penyadapan yang dinilai melebihi (beyond) kewenangan yang dimiliki institusi penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan dimana dalam melakukan penyadapan harus terlebih dahulu mendapat izin dari ketua pengadilan. Oleh karenanya dirasa perlu adanya Dewan Pengawas dalam setiap tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.

Kasus demi kasus tindak pidana korupsi yang selama ini terungkap adalah berawal dari proses penyadapan yang telah lebih dulu dilakukan oleh KPK kepada calon tersangkanya tidak terbatas baik itu pejabat publik maupun pengusaha yang bersangkutan hingga akhirnya OTT dijadikan sebagai alat terakhir untuk menjerat para calon tersangka. Berkaca dari beberapa pengalaman OTT yang terjadi di Lampung dan yang terbaru menjerat Bupati Lampung Utara, tidak hanya bupati atau pejabat publik lainnya namun KPK juga ikut menyeret nama-nama pengusaha yang ikut menjadi otak terjadinya tindak pidana korupsi.

Terlepas dari pro dan kontra disahkannya RUU KPK tersebut, dalam opini ini penulis lebih menekankan kepada alasan mendasar mengapa dalam setiap OTT yang dilakukan KPK selalu saja ada pengusaha yang ditetapkan sebagai tersangka, padahal pengusaha tersebut hanya selaku pemegang saham atau merangkap sebagai komisaris dan jika mengacu pada UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) direksilah yang memiliki kewenangan lebih banyak dalam menjalankan suatu korporasi dan bertanggungjawab baik di dalam maupun di luar persidangan.

Perseroan Terbatas (PT) diakui sebagai subjek hukum, yang artinya memiliki hak dan kewajiban serta memiliki tanggungjawab atas tindakan yang dilakukan oleh PT tersebut. UU PT mengatur adanya pemisahan tanggungjawab baik antara tanggungjawab PT itu sendiri dan tanggungjawab pribadi pemilik PT (pemegang saham). Misalnya, jika suatu kegiatan yang dilakukan atas nama PT dan terjadi kerugian pada pihak ketiga, maka pihak ketiga hanya dapat meminta pertanggungjawaban hukum kepada PT (sebatas harta PT saja), tidak termasuk harta pribadi si Pemilik PT (vide: pasal 3 ayat (1) UU PT).

Pemahaman di atas, dalam praktiknya menjadi salah satu modus yang dilakukan oleh pemegang saham untuk menyalahgunakan suatu korporasi untuk kepentingan pribadi maupun korporasi tersebut (sebagai contoh untuk memenangkan tender, ada loby-loby tertentu yang dilakukan antara pemegang saham dengan pejabat publik). Para pengusaha yang memiliki saham pada suatu korporasi menilai bahwa ancaman pidana bagi tindak pidana korporasi paling jauh hanya sebatas denda atau sanksi administratif seperti pencabutan izin, bukan pemenjaraan terhadap organ badan hukum (kecuali undang undang menentukan lain). Berbeda dengan tindak pidana perorangan, maka dapat dikenakan ancaman hukum penjara. Hal ini sebagaimana pendapat dari ahli hukum R. Soebekti mengenai ciri-ciri dari “Badan Hukum”, sebagaimana dikutip oleh Chidir Ali, 1987, dalam bukunya berjudul “Badan Hukum”, (hal. 19) yaitu: “Badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat dan menggugat di depan hakim.” Dari pengertian tersebut, Korporasi adalah subjek hukum (recht persoon) yang merupakan bentuk artificial person dari seorang manusia yang dapat memiliki hak dan kewajiban hukum. Yang membedakannya dengan manusia adalah korporasi sebagai subjek hukum tentunya tidak dapat dikenakan pemidanaan berupa pidana yang merampas kemerdekaan badan (penjara).

Nah, karakterisitik pembeda inilah yang acapkali membuat para pemegang saham yang beritikad buruk untuk menyalahgunakan korporasi dengan pengaruh yang ia miliki (sebagai pemilik modal) tanpa terancam oleh hukuman pidana penjara. Meskipun memang diatur dalam UU PT terkait batasan pertanggungjawaban bagi pemegang saham (limited liability), namun dalam praktiknya KPK tetap saja dapat menjerat para pemegang saham untuk ikut dijadikan tersangka. Pertanyaan menarik mengenai polemik ini adalah mengapa pemegang saham dapat dijerat secara perorangan dalam tindak pidana korupsi, padahal dia tidak bertindak sebagai direksi yang memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan suatu korporasi?

Penulis dalam opini ini mencoba membuka suatu pemahaman yang dilupakan bahwa ada sebuah doktrin yang menghapuskan tirai pembatas antara pemegang saham dengan korporasi dalam suatu pertanggungjawaban hukum, doktrin tersebut adalah “Piercing The Corporate Veil” Dalam hal ini, penulis memberikan pemahaman sederhana bahwa dalam doktrin tersebut terjadi pemisahan tanggungjawab antara korporasi dan luar korporasi (bisa organ PT/korporasi ataupun subjek hukum lainnya) yang disingkapi atau disobek oleh hukum. Pertanggungjawaban terbatas menjadi tidak berlaku bagi pemegang saham yang terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT. Pertanggungjawaban pribadi pemegang saham juga dapat diterapkan dalam ranah pidana apabila tindakan atau perbuatan pemegang saham tersebut patut diduga melakukan atau menyuruh lakukan suatu tindak pidana dan terpenuhinya unsur kesalahan (schuld) dalam tindak pidana.

Dalam UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tipikor sendiri telah diatur dalam Pasal 20 ayat (1) yang menjelaskan “Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penhatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.Lebih lanjut, dalam perjalanannya menunggu pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan Rancangan Kitab Hukum Acara Pidana Indonesia (RUU KUHAP), Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Perma Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi sebagai pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh Korporasi. Dimana dalam Pasal 5 Perma 13/2016 telah mengatur bahwa “dalam hal seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti, atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya suatu pertanggungjawaban Korporasi”. Oleh karena itu, dalam Pasal 23 Perma 13/2016 juga diatur bahwa “Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi atau Pengurus, atau Korporasi dan Pengurus, baik secara alternatif maupun kumulatif.”

Ketentuan hukum di atas merupakan hal yang melegitimasi KPK untuk dapat juga menjerat para pengusaha sebagai pemegang saham atau yang merangkap sebagai komisaris dimana selama ini berlindung pada pasal 3 ayat (1) UU PT terkait pembatasan tanggungjawab korporasi (limited liability). Sebagai bagian akhir, opini ini ditujukan khususnya kepada para pengusaha yang meskipun dalam stuktur jabatan hanya sebagai komisaris atau bahkan tidak memiliki jabatan sekalipun, untuk dapat mempertimbangkan tindakan hukum dengan tidak menggunakan pengaruhnya yang dapat merugikan tidak hanya korporasi namun juga kepada diri pribadi agar terhindar dari jerat OTT KPK. Akan tetapi, ketika RUU KPK mulai berlaku efektif sejak 17 Oktober 2019 rasanya akan ada strategi baru dari KPK karena senjata utama (penyadapan) tak bisa lagi digunakan tanpa seizin Dewan Pengawas dan jika prosedur penyadapan menyalahi ketentuan dalam RUU KPK maka gugatan pra peradilan yang akan menjadi serangan balik bagi para tersangka KPK.   

Kamis, 15 Februari 2018

Permasalahan Hutang Piutang


Dapatkah Seseorang Dilaporkan Ke Polisi Karena Tidak Melunasi Hutang

Salah satu permasalahan hukum yang sering terjadi dimasyarakat adalah seseorang yang dilaporkan kepolisi karena tidak melunasi tunggakan hutangnya dengan tuduhan penipuan ataupun penggelapan. Di kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah hal ini sering kali terjadi, dimana satu pihak yang merasa memiliki modal (rentenir) dengan mudahnya menawarkan pinjaman kepada yang lain tentunya dengan memberikan bunga pada setiap peminjaman. Pasar tradisional menjadi salah satu tempat yang sangat strategis bagi rentenir untuk menawarkan pinjaman kepada mereka (pedagang) yang sangat membutuhkan modal usaha. Sayangnya, meski praktik ini sudah disadari sangat merugikan bagi si peminjam karena bunga yang terkadang ditentukan dengan sangat besar, namun karena himpitan ekonomi membuat rentenir tumbuh subur dimasyarakat sehingga benar jika ada pepatah lama “yang kaya makin kaya, yang miskis makin miskin”.

Sekedar berbagi pengalaman, saat saya masih kuliah dan aktif sebagai paralegal di Biro Konsultasi bantuan Hukum (BKBH) FH Unila. Saya pernah membantu pengacara BKBH menangani perkara-perkara semacam ini. Klien kami yang tak perlu saya sebutkan namanya, dilaporkan oleh seseorang atas dugaan penipuan. Kemudian setelah saya selidiki, pelapor merupakan orang yang pernah memberi pinjaman (rentenir) kepada klien kami untuk modal usaha dagang pakaian di pasar. Namun dengan modus yang sudah sering dilakukan oleh rentenir tersebut, saat memberi pinjaman uang, klien kami di sodorkan sebuah kertas yang hanya berisi identitas para pihak dan langsung diperintahkan untuk menandatangi kertas yang diberikan materai tersebut. Karena ketidakpahamannya terhadap hukum, klien kami pun menandatangani surat tersebut tanpa merasa curiga sedikitpun.
Bahwa kertas yang sudah ditandatangi tersebut, kemudian dibuatkan perjanjian secara sepihak oleh si rentenir tersebut, dengan salah satu klausulnya menjelaskan bahwa “apabila pihak kedua (klien kami) tidak dapat mengembalikan uang beserta bunganya tersebut selama 3 bulan, maka pihak pertama (rentenir) akan melaporkan pihak kedua kepada kepolisian”.

Benar saja, beberapa bulan kemudian klien kami tidak mampu melunasi hutang karena bunga yang terlampau besar, hingga akhirnya ia dilaporkan ke polisi dan sempat dilakukan pemeriksaan. Akhirnya beberapa hari setelahnya, khawatir ia akan ditahan oleh polisi, melalui istrinya melaporkan kejadian tersebut dan memohon bantuan hukum kepada kami melalui BKBH FH Unila.

Tindakan yang saat itu saya lakukan, adalah dengan menemui penyidik yang memeriksa klien kami, dengan sedikit basa-basi agar mencairkan suasana kemudian saya jelaskan dengan singkat bahwa “mohon hentikan proses hukum terhadap klien kami, karena ini bukan ranah pidana. Perbuatan yang dilakukan antara klien kami dengan pelapor adalah murni hubungan keperdataan yaitu perjanjian hutang piutang, sehingga apabila klien kami tidak bisa memenuhi kewajibannya untuk melunasi hutang maka perbuatannya termasuk cidera janji (wanprestasi) dimana upaya hukum yang dapat dilakukan adalah gugatan wanprestasi ke pengadilan bukan dengan cara memidanakan klien kami dengan dugaan penipuan ataupun penggelapan.”

Bersyukur setelah pertemuan tersebut, penyidik tersebut cukup kooperatif dengan menjelaskan kepada pelapor duduk perkaranya dan menghentikan pemeriksaan terhadap klien kami.
Dari pengalaman saya tersebut, selanjutnya saya akan memberikan penjelasan agar anda dapat memahami dan membedakan mana yang termasuk wanprestasi dalam suatu perjanjian dan mana yang termasuk penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP.

Sebelum saya menjelaskan terkait apa itu dan bagaimana seseorang dapat dikategorikan perbuatan wanprestasi atau penipuan, perlu saya jelaskan terlebih dahulu definisi perjanjian. Karena wanprestasi terjadi karena tidak dipenuhinya suatu janji (cidera janji). Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”

Secara tersirat, mengenai perjanjian hutang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, yaitu:
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”

Apabila seseorang tidak melunasi hutangnya, maka dia  telah melakukan perbuatan cidera janji atau wanprestasi. Pasal 1243 KUHPerdata, menyatakan:
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

Sesuai Pasal 1243 KUHPerdata tersebut, bahwa seseorang dinyatakan melakukan telah melakukan cidera janji atau wanprestasi apabila tidak memenuhi kewajiban yang diwajibkan kepadanya padahal tenggang waktu yang diberikan kepadanya untuk melakukan kewajiban tersebut telah lewat.
Adapun makna dari wanprestasi, berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya (obligatoire overeenkomst).
Wanprestasi dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”):
       a.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya; 
       b.    Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
       c.    Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
       d.   Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog), adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
     a.    Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
    b.    Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
     c.    Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)

Unsur poin c di atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang mengatakan:
“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.”
Dalam hal ini, jelas bahwa perkara wanprestasi tidak dapat dijadikan sebagai tindak pidana penipuan.

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Karena membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur sebagai berikut:
“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”

Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang. 
Sebagaimana beberapa Yurisprudensi Tetap Mahmakah Agung Republik Indonesia yang juga menyatakan bahwa hutang piutang tidak dapat dipidanakan, yaitu:
     1.    Putusan Nomor Register : 93K/Kr/1969, tertanggal 11 Maret 1970
Menyatakan: “Sengketa Hutang-piutang adalah merupakan sengketa perdata.”
     2.    Putusan Nomor Register : 39K/Pid/1984, tertanggal 13 September 1984
Menyatakan: “Hubungan hukum antara terdakwa dan saksi merupakan hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan sebagai perbuatan tindak pidana penipuan.”
     3.    Putusan Nomor Register : 325K/Pid/1985, tertanggal 8 Oktober 1986
Menyatakan: “Sengketa Perdata Tidak dapat dipidanakan.”

Jadi, dari uraian saya di atas secara mendasar wanprestasi dengan penipuan adalah dua perbuatan dengan ranah hukum yang berbeda. Sehingga pada akhirnya saya berharap disinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sebagai catur wangsa untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan hukum perdata. Jangan sampai ketidaktahuan masyarakat akan hukum, menjadikan dirinya sebagai pihak yang selalu salah dan disalahkan hingga akhirnya penjara penuh bukan karena di isi oleh orang-orang salah namun karena terjebak dalam sebuah sistem dimana masyarakat tidak bisa membedakan mana yang salah dan mana yang benar sebab ketidaktahuannya akan hukum. Oleh karenanya, saya menutup pembahasan kali dengan sebuah adagium hukum, yaitu:

“IGNORANTIA EXCUSATUR NON JURIS SED FACTI”
(Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak demikian halnya ketidaktahuan akan hukum)

Bandar Lampung, 15 Februari 2018
Penulis,



Abdul Rahman Praja Negara, S.H.

Dasar hukum:
     1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
     2.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt)
     3.    Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia


Rabu, 31 Januari 2018

Jaminan Fidusia

Kewajiban Pendaftaran Jaminan Fidusia bagi Perusahaan Pembiayaan berdasarkan PMK No. 130/PMK.010/2012

Di jaman yang serba modern saat ini, rasanya sangat jarang kita melihat orang yang tidak memiliki kendaraan dalam hal ini motor. Hampir setiap satu kepala keluarga minimal memiliki 1 (satu) motor baik itu di kota maupun di desa. Kebutuhan akan motor sangatlah dirasakan oleh masyarakat mengingat harga motor yang dapat dibeli dengan cara kredit (mencicil) dengan DP (Down Payment) mulai dari Rp 500.000,- s/d Rp 2.000.000,- tergantung kesepakatan dan promo dari perusahaan pembiayaan (Leasing).

Dalam praktiknya tidak sedikit perusahaan-perusahaan pembiayaan yang menawarkan segala bentuk promosinya baik dalam bentuk hadiah langsung yang bisa dibawa maupun dengan uang muka yang sangat rendah demi untuk mendapatkan konsumen. Bahkan mereka menawarkan bonus yang tinggi bagi yang bisa membawa konsumen untuk membeli kendaraan melalui lembaga pembiayaan tersebut. Dan dasar dari Perusahaan Pembiayaan dalam melakukan transaksi dengan konsumennya adalah dengan menggunakan perjanjian secara tertulis yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia.

Namun, sebelumnya perlu saya jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Fidusia itu sendiri, berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dijelaskan:
“Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.

Untuk lebih sederhananya, agar lebih mudah dipahami akan saya jelaskan sebagai berikut: A adalah perusahaan pembiayaan, dan anda adalah pengusaha yang membutuhkan modal untuk usaha. Dalam perjanjian disepakati bahwa A akan memberikan modal usaha sebesar Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dengan ketentuan pengembalian yang telah disepakati bersama dalam kontrak. Kemudian perjanjian tersebut diikat dengan jaminan fidusia dimana yang menjadi objek jaminan fidusia adalah Sertifikat Hak Milik atas tanah milik anda. Nah, SHM milik anda kemudian akan disimpan oleh A namun penguasaan terhadap tanah tersebut masih hak anda selaku pemiliknya.

Adapun dalam hal pembiayaan kendaraan bermotor seperti yang sedang kita bahas, maka anda membeli kendaraan bermotor dengan cara kredit kepada leasing, kemudian leasing akan mencarikan kendaraan yang anda akan kredit kepada dealer untuk kemudian kendaraan tersebut dialihkan kepada anda dengan ketentuan hak atas kepemilikan kendaraan tersebut tetap berada pada perusahaan pembiayaan (leasing) hingga anda melunasi pembayaran terhadap kendaraan yang anda beli.
Dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor tersebut, perusahaan pembiayaan akan mengikatkan dengan suatu jaminan. Nah, jaminan inilah yang dinamakan jaminan fidusia. Jadi, pengertian jaminan fidusia adalah perjanjian hutang piutang antara kreditor (perusahaan leasing) dan debitor (anda selaku pembeli) dengan melibatkan penjaminan.

Pada umumnya Perusahaan Pembiayaan didalam melaksanakan penjualan atas setiap kendaraan bermotor kepada konsumen dengan menggunakan perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia berupa Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), akan tetapi ternyata dalam prakteknya banyak dari perjanjian yang dibuat oleh perusahaan tersebut tidak dibuat dalam Akta Notariil (Akta Notaris) dan  tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia, walaupun secara tertulis lembaga pembiayaan tersebut dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencantumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia.

Oleh karenanya, Kementrian Keuangan  dengan kebijakannya pada tanggal 7 Agutsus 2012 yang meWAJIBkan bagi setiap Perusahaan Pembiayaan untuk mendaftarkan Jaminan Fidusia ke kantor Pendaftaran Fidusia sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor: 130/Pmk.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.
Menurut Pasal 1 PMK No. 130/PMK.010/2012 tersebut, dijelaskan bahwa “Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia WAJIB mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia.”
Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan:
     a)    pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah;
     b)    dan/atau pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya berasal dari pembiayaanpenerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).

Dengan ditetapkannya peraturan ini, maka seluruh perusahaan pembiayaan harus mendaftarkan fidusia untuk setiap transaksi pembiayaannya. Oleh sebab itu pasal 2 PMK No. 130/PMK.010/2012, menyebutkan bahwa Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.

Adapun bagi perusahaan pembiayaan yang tidak mematuhi ketentuan tersebut, maka lembaga pembiayaan tersebut dilarang melakukan penarikan terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut dalam hal ini berupa motor atau mobil yang anda kredit, meski anda mengalami penunggakan dalam pembayarannya. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 peraturan tersebut, yaitu:
“Perusahaan Pembiayaan DILARANG melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.”

Jadi, menurut saya dengan adanya kewajiban pendaftaran jaminan fidusia oleh perusahaan pembiayaan kepada kantor fidusia yang diatur dalam PMK ini, justru memberikan kepastian hukum bagi perusahaan pembiayaan ketika terjadi tunggakan terhadap kendaraan yang sedang dikredit. Karena dengan telah didaftarkannya jaminan fidusia tersebut, maka perusahaan pembiayaan memiliki kewenangan untuk mengeksekusi (hak eksekutorial) kendaraan milik debitur yang mengalami tunggakan dalam pembayaran.
Hal ini sebagai dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia : “Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata "DEMI KEADlLAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat (2)-nya:
 “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Dan ayat (3), yaitu:
“Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.”
Melihat ketentuan diatas sebenarnya jika kreditur dalam hal ini Perusahaan Pembiayaan tersebut membuat Perjanjian ke dalam Akta Notariil (Akta Notaris) dan didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia maka akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia yang memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Yang dengan sertifikat jaminan fidusia itulah kreditur/penerima fidusia secara serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie) tanpa memerlukan putusan Pengadilan karena Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Setelah mengetahui dasar dan ketentuan tersebut diatas, akibat hukum dari perjanjian Fidusia yang dibuat tanpa menggunakan bentuk Akta Notariil dan tidak didaftarkan, maka Perjanjian dengan jaminan Fidusia tersebut hanyalah berupa Akta dibawah tangan yang tidak mempunyai kekuatan eksekutorial untuk mengeksekusi langsung barang yang ada dalam penguasaan konsumen, sebagaimana yang sering terhadi dalam praktik dimasyarakat.

Permasalahan yang muncul adalah ketika anda sebagai konsumen (Debitur) tidak membayar angsuran dalam beberapa waktu tertentu atau tidak melunasinya maka pihak Perusahaan Pembiayaan tidak dapat secara serta merta mengeksekusi secara langsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara perdata hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dan hal itu memerlukan waktu yang lama. Padahal Faktanya Ada dari beberapa diantara konsumen memang benar-benar melakukan pembayaran sampai dengan lunas  namun ada juga konsumen yang tidak bisa melunasinya.

Ironisnya dalam mengatasi permasalahan yang timbul seperti tersebut diatas, perusahaan pembiayaan biasanya menggunakan jasa Debt Collector (DC)/Tukang Tagih untuk mengambil baik secara paksa maupun secara baik-baik kendaraan dari tangan konsumen yang tidak melunasi kewajibannya membayar hutang/ cicilan angsuran tersebut. dan kebanyakan di lapangan para Debt Collector mengawasi  tiap-tiap kendaraan yang melintas pada ruas-ruas jalan tertentu dengan membawa sebuah buku (atau saat ini sudah ada aplikasi pengecekan tersebut) yang berisi nomor Kendaraan (Plat Nomor) tertentu, ketika kendaraan yang dimaksud melintas langsung dikejar dan diberhentikan paksa, dan pengguna kendaraan itu juga biasanya dipaksa untuk menandatangani berita acara penyerahan kendaraannya kepada Debt Collector tersebut. Dan menghimbau kepada pemakai kendaraan itu untuk menyelesaikan di kantor Pembiayaan yang bersangkutan. Sebagian dari masyarakat yang kurang memahami perbuatan melawan hukum tersebut biasanya timbul rasa takut dan dengan terpaksa menyerahkan kendaraan tersebut dan menandatangani berkas yang disodorkan kepadanya.

Lebih jauhnya berdasarkan peraturan yang berlaku maka, Perbuatan para Debt Collector yang mengatasnamakan perusahaan pembiayaan terkait dalam mengeksekusi benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan tersebut adalah merupakan tindak pidana. Baik perusahaan Pembiayaan maupun Debt Collector yang digunakan jasanya tidak berhak mengeksekusi barang tersebut secara langsung tanpa adanya putusan Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Perbuatan tersebut melanggar Pasal 368 KUHPidana tersebut berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Menurut R. Soesilo menjelaskan pasal tersebut dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal dan menamakan perbuatan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP sebagai pemerasan dengan kekerasan yang mana pemerasnya:
     1.    Memaksa orang lain;
    2.    Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;
   3.    Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
     4.    Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan
Bagi korban dari tindakan sewenang-wenang tersebut diatas dapat langsung melaporkan ke Kantor kepolisian Republik Indonesia terdekat.

Hal itu menjadi peringatan bagi Perusahaan Pembiayaan yang tidak mendaftarkan perjanjian Fidusia tersebut ke Kantor pendaftaran Fidusia. Dan bagi sebagian dari Debt Collector yang belum memahami permasalahan yang bakal timbul akibat dari perbuatannya bisa berpikir dua kali untuk melakukan tindakan tersebut diatas. Karena jika memang terjadi adanya laporan dari pihak korban, kebanyakan Perusahaan Pembiayaan tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan para Debt Collector tersebut. Hal itu berakibat merugikan bagi Debt Collector itu sendiri.

Demikian penjelasan saya terkait kewajiban perusahaan pembiayaan untuk mendaftarkan jaminan fidusia berdasarkan PMK No. 130/PMK/10/2012, semoga dapat menambah wawasan terhadap hukum positif yang berlaku di negara ini.

Bandar Lampung, 1 Februari 2018
Penulis,



Abdul Rahman Praja Negara, S.H.

Dasar hukum:
     1.    UU Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
   2.    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/Pmk.010/2012 Tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.   

     3.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Jumat, 19 Januari 2018

Permasalahan Hukum Terkait Penggunaan Bea Materai

Legal Opinion (LO)
“Ketentuan Penggunaan Bea Materai Untuk Setiap Transaksi Jual Beli”

A.    Permasalahan
Bagaimana ketentuan Hukum dalam penggunaan Bea Materai Untuk Setiap Transaksi Jual Beli?

B.     Analisis Hukum
Bahwa untuk mengetahui ketentuan mengenai perlu atau tidaknya penggunaan materai dan berapa tarif materai yang digunakan dalam setiap transaksi jual beli, maka perlu merujuk pada UU No. No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai dan PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.

Bahwa materai, sebenarnya yang dimaksud adalah benda meterai, sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) huruf b UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai, yang menjelaskan: “Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia”.

Adapun dokumen yang dikenakan Bea Materai, diatur dalam PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai, Pasal 1 menjelaskan:
Bahwa dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah dokumen yang berbentuk :
a.       surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b.      akta-akta Notaris termasuk salinannya;
c.       akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap- rangkapnya;
d.      surat yang memuat jumlah uang, yaitu :
1.      yang menyebutkan penerimaan uang;
2.      yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank;
3.      yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank; atau
4.      yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan;
e.       surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; atau
f.       dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan,
yaitu :
1.      surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
2.      surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula.

Penggunaan struk pembayaran pada setiap transaksi jual beli, pada dasarnya termasuk ke dalam dokumen yang dikenakan Bea Materai, seperti yang disebutkan pada huruf d karena struk pembayaran merupakan surat yang memuat jumlah uang. Namun, ada ketentuan terhadap setiap struk pembayaran dikenakan bea materai atau tidak. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 24 Tahun 2000, yaitu:
“(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf d dan huruf e :
a.      yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai;
b.      yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meteraidengan tarif sebesar Rp. 3.000,00 (tiga ribu rupiah);
c.       yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah),dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 6.000,00 (enam ribu rupiah)”.

C.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian ketentuan tersebut di atas, setiap struk pembayaran pada setiap transaksi jual beli tidak dikenakan Bea Materai apabila nilai transaksi sampai dengan Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Bea Materai baru dikenakan, apabila nilai transaksi lebih dari Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan tarif Bea Materai sebesar Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah) dan untuk nilai transaksi lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan tarif Bea Materai sebesar Rp 6.000,- (enam ribu rupiah).

D.    Saran
Dengan telah diaturnya ketentuan mengenai Bea Materai pada UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai dan PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai Dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai. Kami menyarankan agar setiap transaksi jual beli dilakukan dengan mematuhi dan menjalankan ketentuan sebagaimana telah kami jelaskan di atas.

Demikian jawaban kami ini Kami sampaikan, semoga bermanfaat. Atas perhatian dan kerjasamanya Kami ucapakan terimakasih.

Bandar Lampung 19 Januari 2018
Hormat Kami,



Abdul Rahman PN, S.H.





JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...