Selasa, 28 Februari 2017

Nilai Ketuhanan Merupakan Jiwa Bangsa dan Negara Indonesia


Sebagai warga negara Indonesia, kita tentu mengerti isi sila pertama pada Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila pertama tersebut mengandung makna bahwa: pertama, adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Kedua, bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, bukan bangsa yang ateis. Pengakuan terhadap Tuhan diwujudkan dengan perbuatan untuk taat pada perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan ajaran atau tuntutan agama yang dianutnya. Ketiga, adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminasi antar umat beragama.

Makna yang terkadung dalam setiap butir Pancasila khususnya sila pertama merupakan hasil perenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh para pendiri negara (the founding father) kita, yang dituangkan dalam suatu sistem dan menjadi ideologi Bangsa Indonesia.[1]
Dengan ideologi Pancasila dalam sila pertama tersebut, dengan tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara ketuhanan atau bisa diartikan negara yang beragama. Pernyataan ini tidak saja dapat terbaca dalam Pembukaan UUD 1945 dimana perumusan Pancasila itu terdapat tetapi dijabarkan lagi dalam tubuh UUD 1945 itu sendiri pasal 29 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut : “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Adanya pernyataan pengakuan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa secara yuridis konstitutional ini, mewajibkan pemerintah atau aparat negara untuk dapat menjalankan setiap kebijakan dengan berlandaskan pada asas Ketuhanan.

Batang tubuh UUD 1945 juga menjelaskan dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa: “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayannya itu”. Hal tersebut memiliki arti bahwa Negara Indonesia tidak terdiri hanya satu golongan agama tetapi terdiri dari berbagai kumpulan umat beragama yang disatukan dalam bingkai “Kebhinnekaan”. Sehingga, dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara tentu harus berlandaskan pada nilai-nilai Ketuhanan.

Sayangnya, pemahaman dan implementasi terhadap konsep atau nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila khususnya sila pertama mulai memudar seiring berubahnya zaman. Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi membuat dunia seperti tanpa batas, ideologi-ideologi dari bangsa dan negara lain dapat masuk dengan mudah mempengaruhi berbagai sistem tatanan kehidupan di Indonesia. Tentu hal tersebut merupakan ancaman yang sangat besar terhadap keutuhan kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia, karena warga negara Indonesia dapat dengan mudah dipecah belah dengan pemikiran-pemikiran yang tidak sejalan dengan Pancasila seperti paham sekularisme, plurarisme dan liberalisme.

Pada hakikatnya paham sekulerisme sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Al Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdha Al -Rasyidah adalah pemisahan agama dari kehidupan manusia atau pemisahan Tuhan dari kehidupan manusia. Sekularisme secara sederhana juga dapat didefinisikan sebagai doktrin yang menolak campur tangan nilai-nilai keagamaan dalam urusan manusia, singkatnya urusan manusia harus bebas dari agama atau dengan kata lain agama tidak boleh meng intervensi urusan manusia. Segala tata-cara kehidupan antar manusia adalah menjadi hak manusia untuk mengaturnya termasuk dalam urusan negara, Tuhan tidak boleh mengintervensinya.

Selanjutnya Pluralisme adalah sebuah paham yang mendoktrinkan bahwa kebenaran itu bersifat banyak atau tidak tunggal. Ada Pluralisme dalam agama, hukum, moral, filsafat dan lain sebagainya, dalam kajian ini akan kita ambil defenisi: “Hakekat dan keselamatan bukanlah monopoli satu agama tertentu, semua agama menyimpan hakikat yang mutlak dan sangat agung, menjalankan masing-masing progam agama bisa menjadi sumber keselamatan”. Terkait paham liberalisme sendiri, penulis mengutip pendapat Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Mazhab ini memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta kebanyakan bahwa tugas pokok pemerintahan adalah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat, seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan kepemilikan pribadi, kebebasan individu dan kebebasan agama. Dalam hal kebebasan agama, penganut paham liberalisme ini berhak menganut agama apapun sesuai keinginannya begitupun sebaliknya untuk memilih tidak menganut agama apapun.

Ketiga paham tersebut tentu sangat bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang terkadung dalam Pancasila. Jika di Eropa, paham sekularisme, pluralisme dan libelarisme sudah mulai ditinggalkan karena menimbulkan banyak bencana kemanusiaan termasuk didalamnya Korupsi dan berpolitik dengan menghalalkan segala cara, bahkan di Turki saat ini kaum Liberal Sekuler ditempatkan pada sebuah pulau khusus karena pemikiran mereka sudah tidak berlaku lagi di tengah-tengah masyarakat Turki hari ini dan partai berbasis Islam pun mulai terlihat berjaya sejak kepemimpinan Recep Tayyip Erdoğan terpilih menjadi presiden Turki. Karena sebelumnya Turki dalam cengkraman Sekular liberalisme. Kini, Turki kembali pada sistem berbasis agama. Indonesia, lagi-lagi dalam kondisi selalu yang “galau” dan “bingung”, ketika semua orang meninggalkannya Indonesia baru mulai menyerapnya dan penulis melihat jika eropa mulai maju dengan meninggalkan liberal sekulerisme, Indonesia dalam ancaman jurang kehancuran.

Sekali lagi, Indonesia dalam ancaman kekuatan “Jahat” yang sangat berbahaya untuk pertahanan nilai luhur bangsa, serbuan kebebasan tanpa batas dipayungi dengan sistem liberal sekularisme dan bersembunyi dibelakang HAM dan Kebebasan berekspresi terjadi. Lihatlah bagaimana kini, remaja Indonesia telah terpengaruh oleh budaya sekularisme yang tidak lagi mementingkan akan hadirnya Tuhan dalam setiap kehidupan, budaya barat mulai masuk dan ditiru misalnya pergaulan bebas (freesex) bahkan yang terbaru yaitu komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender(LGBT) dengan mengatasnamakan HAM mereka menghalalkan hubungan sesama jenis yang semakin menjerumuskan generasi penerus Bangsa Indonesia dalam budaya cinta dunia (Hedonisme). Tak hanya itu, hal tersebut mulai memasuki ranah politik dan hukum untuk mensahkan RUU Keadilan Keseteraan Gender (RUU KKG) yang sedang digodok sebagai bentuk buah hasil dari perjuangan kelompok Liberal Sekuler Indonesia.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan perhatian khusus terhadap munculnya inisiaif RUU KKG tersebut, MUI berpandangan bahwa RUU KKG mengacu pada paham liberalisme dan nilai-nilai barat yang tidak memiliki basis filosofis, ideologis, sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi agama, budaya, etika dan moral. RUU KKG tidak mengacu pada Pancasila yang mengedepankan pentingnya nilai-nilai religiusitas dan Ketuhanan Yang Maha Esa. RUU KKG juga tidak mencamtumkan Pancasila sebagai sumber hukumnya sehingga wajar apabila isinya pun tidak mencerminkan Pancasila serta bertentangan pula dengan UUD 1945 antara lain bertentangan dengan Pasal 28I, 28J dan 29 UUD 1945.[2]

Fakta yang tentunya masih hangat dibeberapa surat kabar Indonesia tentunya munculnya pernyataan salah satu Cagub DKI yang menyatakan tidak boleh ta’at pada ayat suci dan lebih baik ta’at pada ayat Konstitusi yang membuat situasi umat beragama khususnya Islam merasa tersakiti hingga berdampak pada perpecahan antar umat beragama.

Sebagai Negara Pancasila, Dengan Dasar KETUHANAN YANG MAHA ESA, artinya semua warga negara Indonesia meyakini bahwa Tuhan itu Esa dan menjadikan Agama sebagai kepribadian bangsa, semua agama mengajarkan mana yang baik dan mana yang benar, mana yang halal dan mana yang haram,. Seperti halnya ketika umat Islam mengkritisi dan memprotes penampilan Julia Perez, Agnes Monica pun pernah diprotes Gerejawan Indonesia terkait penampilannya yang super seksi bahkan hampir terbuka ketika menerima penghargaan AMI Award beberapa tahun yang lalu, Artinya sampai disini kontrol Agama sangat kuat dan ini harus dilestarikan, dan inilah sesungguhnya yang dicontoh bangsa lain dari bangsa Indonesia.

Penulis mengerti, para penganut paham sekulerisme dan liberalisme tentu tidak suka dikekang dengan aturan agama. Yang menawarkan kebebasan seperti halnya Iblis menyatakan bebas untuk tidak melakukan Pengabdian kepada TUHAN, bahkan Iblis meminta Izin untuk mengajak manusia masuk Neraka buat menemaninya nanti. Itulah Iblis, dimana tidak mau diikat oleh ikatan agama. Ingin bebas sebebas-bebasnya tanpa batas. Setelah manusia bebas melakukan apapun sekehendaknya atas dasar kebebasan berfikir, kebebasan berbudaya dan kebebasan berekspresi tanpa batas, pada akhirnya target intinya adalah MENGHILANGKAN AGAMA. Agama akan termarginalkan demi kepentingan Syahwat kebebasan berekspresi menurut mereka.

Dampak terburuk dari marginalisasi agama adalah orang menjadikan agama hanya formalitas, bukan sebagai identitas, dia muslim tetapi tidak sholat ke masjid (Islam KTP), dia kristiani tetapi tidak misa ke gereja dan yang lainnya pun begitu, inilah dampak terburuk dari kekuatan jahat tersebut dimana Eropa saja sudah meninggalkannya, karena ketika Liberalisme  diterapkan tingkat kegelisahan di Negara-negara tersebut meningkat tajam.
Penulis mengutip sebuah Firman Allah SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat: 11-12, yang telah memperingatkan terhadap tipu daya orang-orang Sekularisme:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُو
أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya: “Dan bila dikatakan kepada mereka:“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS. Al-Baqarah:11-12)

Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa orang-orang munafik adalah mereka yang pintar mencari dalil kebenaran (tipu daya kaum sekularisme dan liberalisme) di atas kesesatan, seperti mengatasnamakan HAM untuk membenarkan perbuatan setiap orang untuk tidak memilih agama apapun atau melakukan perkawinan sejenis seperti yang telah disinggung sebelumnya.

Penulis memberi kesimpulan dan saran bahwa Konsep Ketuhanan seperti yang termaktub dalam sila pertama Pancasila merupakan LANDASAN yang JELAS bagi negara Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjadi negara yang berideologi, mandiri dan beradab. Sehingga, kedepan Bangsa Indonesia harus kembali pada Ideologi Pancasila tersebut, bangga akan jati dirinya dengan mengimplementasikan setiap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila khususnya sila pertama agar tidak terjebak dalam paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme.

Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kehidupan beragama bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sila-sila yang lain. Oleh karena itu kehidupan beragama harus dapat membawa persatuan dan kesatuan bangsa, harus dapat mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradap, harus dapat menyehatkan pertumbuhan demokrasi, sehingga membawa seluruh rakyat Indonesia menuju terwujudnya keadilan dan kemakmuran lahir dan batin. Dalam hal ini berarti bahwa sila pertama memberi pancaran keagamaan, memberi bimbingan pada pelaksanaan sila-sila yang lain.

Konsep Ketuhanan juga sebagai sarana untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa, maka asas kebebasan memeluk agama ini harus diikuti dengan asas toleransi antar pemeluk agama, saling menghargai dan menghormati antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain dalam menjalankan ibadah menurut agama mereka masing-masing.

Kehidupan beragama tidak bisa dipisahkan sama sekali dari kehidupan duniawi atau kemasyarakatan. Keduanya merupakan satu sistem sebagaimana satunya jiwa dan raga dalam kehidupan manusia. Agama sebagai alat untuk mengatur kehidupan di dunia, sehingga dapat mencapai kehidupan akhirat yang baik. Kehidupan beragama tidak bias lepas dari pembangunan masyarakat itu sendiri, bangsa dan Negara demi terwujudnya keadilan dan kemakmuran materiil maupun spiritual bagi rakyat Indonesia. Semakin kuat keyakinan dalam agama, semakin besar kesadaran tanggungjawabnya kepada Tuhan bangsa dan Negara, semakin besar pula kemungkinan terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu sistem untuk menanamkan lagi nilai-nilai Ketuhanan dalam jiwa masyarakat Indoneisa khususnya generasi muda dengan memberikan seminar kebangsaan atau memasukkan kurikulum keagamaan yang lebih menekankan pada penerapannya di setiap kehidupan.




[1] Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2013,. Tanya Jawab Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR, hlm. 7
[2] Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia Keempat Tahun 2012 Tentang Masail Qanuniyyah poin 5 RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...