Tepatnya
pada tangggal 1 Mei 1890 menjadi awal peringatan hari buruh internasional,
disinilah titik balik perjuangan para buruh yang memperjuangkan hak-haknya.
Berawal dari gagasan hari libur bagi pekerja yang ditetapkan pada 5 September
1882, dengan diadakannya parade Hari buruh di New York dengan mengusung spanduk
“8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi.”. Itu adalah rangkaian
perjuangan panjang kelas pekerja di Amerika untuk menuntut perbaikan kondisi
kerja, karena di awal abad ke-19 selain upah minim, jam kerja yang panjang,
rata-rata mencapai 19-20 jam per hari. Perlawanan atas kondisi itu diawali
dengan pemogokan para pekerja Cordwainers (1806) yang membawa para
organisatornya ke meja hijau. Pelopor gagasan untuk menghormati hak pekerja
adalah Peter Mc. Guire dan Matthew Maguire.
1
Mei 1886, sekitar 400 ribu buruh di AS menggelar demo besar-besaran untuk
menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari. Aksi demo itu berlangsung
4 hari. Pada 4 Mei 1886 diadakan pawai besar-besaran yang memicu kemarahan
polisi Amerika dan kemudian menembaki para demonstran hingga menewaskan ratusan
orang, pemimpinnya ditangkap dan dihukum mati. Inilah yang kemudian dikenal
dengan peristiwa Haymarket. Juli 1889, di Paris diadakan Kongres Sosialis Dunia
yang menetapkan peristiwa Haymarket sebagai HARI BURUH SEDUNIA atau yang
sekarang dikenal dengan “MAYDAY”.
Di
Indonesia, Hari Buruh Internasional menjadi Hari Libur Nasional sejak
diputuskannya keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Penetapan Tanggal
1 Mei Menjadi Hari Libur. Padahal, sejak
tahun-tahun sebelumnya serikat buruh/serikat pekerja di Jakarta, Lampung,
Medan, Palembang dan kota-kota besar lainnya sudah melakukan aksi unjukrasa
untuk memperingati hari buruh internasional tersebut. Jika dilihat lebih
kebelakang lagi mengenai buruh di Indonesia, tentunya sangatlah jauh dari kata
sejahtera, seperti buruh perkebunan sawit di Sumatera yang sejak 100 tahun lalu
sudah berdiri. Sekarang bagaimana ? meski Indonesia sudah merdeka dan sudah
berumur lebih dari setengah abad ternyata tak sejalan dengan perkembangan
kesejahteraan buruh diperkebunan.
Buruh
perkebunan di Indonesia masih menghadapi tindakan-tindakan represif dari pihak
pengusaha, bahkan Negara melakukan pembiaran terhadap kondisi tersebut. Lokasi
buruh yang terisolir dan budaya “nrimo” dikalangan buruh membuat penindasan
yang terjadi tersimpan rapat didalam lingkungan perkebunan saja. Upah murah,
buruh anak, kehidupan yang tidak layak hingga beban kerja yang tinggi merupakan
masalah-masalah yang biasa ditemui dalam buruh perkebunan. Ucap, Herwin
Nasution.SH Direktur Eksekutif OPPUK.
Selama
ini, sudah terjadi bentuk praktik kerja paksa di perkebunan sawit, perusahaan
sawit dengan memberikan upah murah, dimana kategori kerja paksa itu termasuk
sistem kerja borongan, shift kerja yang tidak sesuai, pekerja tambahan diluar
pekerjaan umum, pekerjaan diluar jam kerja tanpa dibayar. Alasan upah murah
merupakan bentuk kerja paksa yang halus secara tidak langsung buruh terpaksa
untuk bekerja lebih keras karena upah murah dan kebijakan denda. Karena upahnya
tidak mencukupi dampaknya banyak terjadi kasus dimana shift kerja yang
selayaknya dikerjakan oleh tiga orang dipaksa dikerjakan dua orang, pekerjaan
tambahan yang dipaksa dikerjakan buruh untuk menutupi kekurangan pencapaian
hasil kerja. Target yang tinggi ditetapkan oleh perusahaan perkebunan juga
memaksa buruh untuk bekerja lagi diatas jam kerja yang layak (7 jam dalam sehari
) sesuai peraturan UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Pemerintah
seharusnya menjadi penengah dalam hal ini, bukan malah bersekongkol dengan
pengusaha untuk mencari keuntungan semata. Pemerintah harus membuat Peraturan
Pemerintahan yang mengatur tentang buruh perkebunan sawit tentunya dengan
mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 dan menekankan pada hak-hak yang dimiliki
oleh buruh. Peraturan tersebut nanti harus dibarengi dengan tindakan dan
pengawasan yang nyata melalui BKSPPS ( Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan
Sumatera ) sebagai serikat pekerja. Dengan begitu, Hari Libur Nasional 1 Mei
yang sejatinya adalah untuk memfasilitasi hak-hak buruh untuk menyuarakan
keinginannya akan terealisir dengan menjalin kerjasama dari Serikat
buruh/pekerja dengan Perusahaan dan Pemerintah yang koordinatif untuk
memperbaiki fasilitas dan jaminan sosial serta upah yang ditetapkan mencukupi
bagi buruh maupun keluarganya. Sehingga MAYDAY tidak sekedar peringatan namun
harus ada perbaikan dalam hal ketenagakerjaan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar