Sabtu, 11 Februari 2017

“MAYDAY” Peringatan Tanpa Perbaikan


Tepatnya pada tangggal 1 Mei 1890 menjadi awal peringatan hari buruh internasional, disinilah titik balik perjuangan para buruh yang memperjuangkan hak-haknya. Berawal dari gagasan hari libur bagi pekerja yang ditetapkan pada 5 September 1882, dengan diadakannya parade Hari buruh di New York dengan mengusung spanduk “8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi.”. Itu adalah rangkaian perjuangan panjang kelas pekerja di Amerika untuk menuntut perbaikan kondisi kerja, karena di awal abad ke-19 selain upah minim, jam kerja yang panjang, rata-rata mencapai 19-20 jam per hari. Perlawanan atas kondisi itu diawali dengan pemogokan para pekerja Cordwainers (1806) yang membawa para organisatornya ke meja hijau. Pelopor gagasan untuk menghormati hak pekerja adalah Peter Mc. Guire dan Matthew Maguire.

1 Mei 1886, sekitar 400 ribu buruh di AS menggelar demo besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja menjadi 8 jam sehari. Aksi demo itu berlangsung 4 hari. Pada 4 Mei 1886 diadakan pawai besar-besaran yang memicu kemarahan polisi Amerika dan kemudian menembaki para demonstran hingga menewaskan ratusan orang, pemimpinnya ditangkap dan dihukum mati. Inilah yang kemudian dikenal dengan peristiwa Haymarket. Juli 1889, di Paris diadakan Kongres Sosialis Dunia yang menetapkan peristiwa Haymarket sebagai HARI BURUH SEDUNIA atau yang sekarang dikenal dengan “MAYDAY”.

Di Indonesia, Hari Buruh Internasional menjadi Hari Libur Nasional sejak diputuskannya keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Penetapan Tanggal 1 Mei  Menjadi Hari Libur. Padahal, sejak tahun-tahun sebelumnya serikat buruh/serikat pekerja di Jakarta, Lampung, Medan, Palembang dan kota-kota besar lainnya sudah melakukan aksi unjukrasa untuk memperingati hari buruh internasional tersebut. Jika dilihat lebih kebelakang lagi mengenai buruh di Indonesia, tentunya sangatlah jauh dari kata sejahtera, seperti buruh perkebunan sawit di Sumatera yang sejak 100 tahun lalu sudah berdiri. Sekarang bagaimana ? meski Indonesia sudah merdeka dan sudah berumur lebih dari setengah abad ternyata tak sejalan dengan perkembangan kesejahteraan buruh diperkebunan.
Buruh perkebunan di Indonesia masih menghadapi tindakan-tindakan represif dari pihak pengusaha, bahkan Negara melakukan pembiaran terhadap kondisi tersebut. Lokasi buruh yang terisolir dan budaya “nrimo” dikalangan buruh membuat penindasan yang terjadi tersimpan rapat didalam lingkungan perkebunan saja. Upah murah, buruh anak, kehidupan yang tidak layak hingga beban kerja yang tinggi merupakan masalah-masalah yang biasa ditemui dalam buruh perkebunan. Ucap, Herwin Nasution.SH Direktur Eksekutif OPPUK.

Selama ini, sudah terjadi bentuk praktik kerja paksa di perkebunan sawit, perusahaan sawit dengan memberikan upah murah, dimana kategori kerja paksa itu termasuk sistem kerja borongan, shift kerja yang tidak sesuai, pekerja tambahan diluar pekerjaan umum, pekerjaan diluar jam kerja tanpa dibayar. Alasan upah murah merupakan bentuk kerja paksa yang halus secara tidak langsung buruh terpaksa untuk bekerja lebih keras karena upah murah dan kebijakan denda. Karena upahnya tidak mencukupi dampaknya banyak terjadi kasus dimana shift kerja yang selayaknya dikerjakan oleh tiga orang dipaksa dikerjakan dua orang, pekerjaan tambahan yang dipaksa dikerjakan buruh untuk menutupi kekurangan pencapaian hasil kerja. Target yang tinggi ditetapkan oleh perusahaan perkebunan juga memaksa buruh untuk bekerja lagi diatas jam kerja yang layak (7 jam dalam sehari ) sesuai peraturan UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.


Pemerintah seharusnya menjadi penengah dalam hal ini, bukan malah bersekongkol dengan pengusaha untuk mencari keuntungan semata. Pemerintah harus membuat Peraturan Pemerintahan yang mengatur tentang buruh perkebunan sawit tentunya dengan mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 dan menekankan pada hak-hak yang dimiliki oleh buruh. Peraturan tersebut nanti harus dibarengi dengan tindakan dan pengawasan yang nyata melalui BKSPPS ( Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sumatera ) sebagai serikat pekerja. Dengan begitu, Hari Libur Nasional 1 Mei yang sejatinya adalah untuk memfasilitasi hak-hak buruh untuk menyuarakan keinginannya akan terealisir dengan menjalin kerjasama dari Serikat buruh/pekerja dengan Perusahaan dan Pemerintah yang koordinatif untuk memperbaiki fasilitas dan jaminan sosial serta upah yang ditetapkan mencukupi bagi buruh maupun keluarganya. Sehingga MAYDAY tidak sekedar peringatan namun harus ada perbaikan dalam hal ketenagakerjaan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...