Selasa, 28 Februari 2017

“FREEPORT PENJARAH EMAS RAKYAT PAPUA”


Sejarah mencatat bahwa awal mula ditemukannya Gunung Emas di tanah Papua adalah sejak ekspedisi yang dilakukan oleh Jean Jacques Dozy pada tahun 1936 yang menemukan cadangan estberg atau disebut gunung emas di pedalaman Papua.[1] Terdapat mitologi kuno yang sangat melekat dalam jiwa masyarakat adat di daerah tersebut, dimana dahulu di tengah masyarakat ada kelahiran manusia sejati, yang dilahirkan seorang perempuan, yang setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang sepanjang daerah Amungsal (tanah Amungme), daerah ini dianggap keramat oleh masyarakat setempat sehingga secara adat tidak dijinkan untuk dimasuki.

Namun, daerah tersebut akhirnya dibuka untuk lokasi pertambangan oleh PT Freeport Indonesia (PT FI), sejak penandatanganan kontrak karya antara PT FI dengan pemerintah Indonesia pada tahun 1967, kontrak ini berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi 1973. Dan itulah warga suku Amungme dipindahkan ke luar dari wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia, tepatnya di Kota Tembagapura (sebuah kota yang namanya diresmikan oleh Presiden Soeharto). Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia. 24 Tahun lebih PT FI melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam di tanah papua, membuat perusahaan tersebut menjadi salah satu perusahaan dengan produksi emas dan tembaga terbesar di dunia. Tentunya setelah kembali menemukan cadangan di  Grasberg, membuat PT FI sangat bersemangat untuk kembali menjarah emas di tanah Papua.

Pendandatangan Kontrak Karya II pun, terjadi pada tahun 1991, berlaku 30 tahun dan akan berakhir 2021 serta kemungkinan perpanjangan 2 kali 10 tahun (sampai 2041).[2] Hal tersebut tentu, membuat para petinggi perusahaan tersebut semakin terbuai dengan kekayaan hasil menjarah di tanah papua tersebut.
Sebagai mahasiswa, penulis merasa sangat prihatin dengan fakta tersebut, sampai kapan hal tersebut akan terjadi ???, sampai kapan PT Freeport terus menjarah emas di tanah papua, membuat amerika semakin kaya dan meninggalkan kerusakaan ekosistem bagi generasi Papua selanjutnya.  Kemana perginya para insinyur dan sarjana geologi lulusan terbaik dari penjuru universitas ternama di indonesia ?? apakah..  mereka tak bisa mengelola tambang emas tersebut..??? atau memang hal tersebut sengaja dibiarkan oleh pemerintah yang sering kali talik ulur masalah freeport ??

Jika bangsa ini ingin bebas dari penjajahan era modern seperti saat ini,  tentu urusan freeport harus menjadi prioritas yang harus segera terselesaikan. Indonesia dijajah begitu lama karena di tengah-tengah perjuangannya selalu ada pengkhianat dan para oportunis sejati. Masih teringat jelas dalam ingatan kita, dipertengahan tahun 2015, dua tahun yang lalu. Dimana ada seroang wakil rakyat, yang mencoba meminta komisi atas saham milik PT Freeport Indonesia tersebut, dan tanpa memiliki urat malu lagi, kini ia bertengger dikursi DPR setelah sebelumnya sempat dicopot sebagai Ketua DPR RI. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah penyakit yang sudah mendarah daging disetiap jiwa para pemimpin bangsa. Awal mula PT Freeport dapat menanamkan investasinya di tanah Papua juga karena permainan politik (KKN) yang dilakukan semasa rezim orde baru, banyak pejabat-pejabat negara bahkan militer ikut menerima bonus-bonus berupa jabatan, kekuasaan dan  hadiah lainnya sebagai imbalan atas terjalinnya kerjasama antara PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia serta kemananan yang diberikan pihak militer saat itu 24 jam non-stop.[3]

Bukankah dalam UUD 1945, pasal 33 ayat (3) negara menjamin bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Frasa “dikuasai oleh negara” dalam hal ini tidak berarti memiliki, karena pada dasarnya kepemilikan tanah, termasuk hak ulayat mutlak milik warga negara sendiri, merekalah yang berhak mengelola dan menikmati hasil kekayaan alam tersebut. Pemerintah hanya berwenang memberikan perlindungan dan kepastian hukum dengan membuat berbagai kebijakan, bukan serta merta menjadi seperti pemilik tanah tersebut, sehingga kewenangannya melampaui batas.

Seperti kontrak karya yang disepakati tersebut di atas, bahkan dalam kesepakatan yang dibuat dalam kontrak karya tersebut, tidak ada pihak yang mewakili kepentingan rakyat papua, hanya pemerintah rezim orde baru dan PT freeport saja, sebagai pihak yang bersama-sama menandatangani kesepakatan tersebut. Sehingga negara terkesan seperti mafia tanah bagi rakyatnya sendiri, yang bisa seenaknya membuat perjanjian dengan perusahaan yang hendak berinvestasi di tanah indonesia. Demi keuntungan pihak-pihak tertentu.

Dalam kontrak karya 1991 tersebut dijelaskan bahwa indonesia hanya mendapatkan keuntungan hanya 1% dari keseluruhan keuntungan PT Freeport pertahunnya.  dimana, logika matematiknya..??  bagaimana bisa, kita yang memiliki lahan, asing yang mengelola tapi bagi hasilnya, setengah keuntungan pun tidak. Padahal, ibarat seorang buruh tani dikampung-kampung, yang bekerja mengelola lahan sawah milik seseorang, mereka pun tetap dapat jatah minimal setengahnya.

Ketua dan anggota komisi VII DPR RI pun sempat dibuat terkejut oleh pernyataan Menteri ESDM saat itu pada tahun 2015, Sudirman Said, yang menjelaskan bahwa “Dalam kontrak yang ditanda tangani tahun 1991, ada empat item siapapun pemerintahnya dan menterinya akan mengalami kesulitan,” kata Sudirman Said di ruangan komisi VII DPR-RI Senayan Jakarta, Selasa (1/12).[4]
Kontrak tersebut berbunyi, pihak Freeport disamping mendapatkan perpanjangan selama 30 tahun, juga bisa memperpanjang dua kali sepuluh tahun. Kemudian Freeport dapat mengajukan perpanjangan sejak ditandatangani kontrak ini. Apabila tidak ada alasan mendasar, maka pemerintah tidak boleh menunda persetujuan perpanjangan tersebut.

Kemudian pada item kedua tercantum pada klausul pasal 32, kontrak ini mentaati peraturan perundang-undangan sampai dengan terbit penandatanganan kontrak ini. “Artinya bisa mengabaikan kontrak dan UU yang terbit sesudah kontrak itu,” kata Sudirman Said.
Selanjutnya, pada item ketiga ada kata-kata sepanjang kontrak ini berlaku, pemerintah Indonesia tidak bisa menasionalisasikan tambang ini. Kemudian pada item terakhir menyebutkan, bahwa setelah habis masa kontrak kapanpun, apabila ada pengalihan saham, harus dilakukan melalui harga pasar.

Mereka semua kaget dan heran mengetahui hal tersebut, yang menjadi pertanyaan  penulis, lalu sejak 1991 sampai 2015 saat itu, kemana dan apa saja yang dikerjakan oleh wakil rakyat tersebut, sampai-sampai tidak tahu-menahu mengenai kontrak karya kedua yang sudah terlanjur ditandatangani tersebut ???

Dua tahun kemudian, setelah kisruh kasus “Papa Minta Saham”, yang sempat disinggung sebelumnya, tepatnya pada awal tahun 2017 ini, polemik antara pemerintah dengan PT Freeport kembali terjadi. Pemerintah dalam hal ini Mentri ESDM yang baru Ignasius Jonan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara serta peraturan turunannya, yang telah ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Pada 10 Februari 2017 lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi untuk PT Freeport Indonesia. IUPK tersebut diberikan agar Freeport dapat melanjutkan kegiatan operasi dan produksinya di Tambang Grasberg, Papua. Perubahan perjanjian Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Yang dijelaskan dalam 170 UU Minerba tersebut bahwa pemegang Kontrak Karya wajib melakukan pemurnian mineral dalam negeri dalam jangka waktu 5 tahun sejak diundangkannya Undang-undang tersebut.

Artinya, Freeport sebagai pemegang KK tak bisa lagi mengekspor konsentrat tembaga, hanya produk yang sudah dimurnikan yang boleh diekspor. Sementara baru perusahaan tambang yang berpusat di Arizona, Amerika Serikat (AS) itu, baru bisa memurnikan 40% dari konsentrat tembaganya di smelter (fasilitas pemurnian mineral) Gresik, yang sampai saat ini belum rampung pembangunannya.
Kewajiban untuk merubah Kontrak Karya dengan IUPK ditanggapi oleh Pimpinan PT Freeport dengan respon yang negatif, perusahaan tersebut menolak untuk melakukan perubahan tersebut dan besikeras untuk tetap mengacu pada Kontrak Karya sebelumnya, karena dinilai sangat merugikan perusahaan.

Poin-poin penting yang dianggap merugikan tersebut, diantaranya:
1. Perubahan ketentuan tentang divestasi saham sampai dengan 51% secara bertahap.
Divestasi 51% Ini menurut Jonan penting karena instruksi Bapak Presiden, dengan diterapkanya PP ini maka semua pemegang kontrak karya dan IUPK dan sebagainya itu wajib tunduk kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba yang wajib itu melakukan divestasi saham sampai 51% sejak masa produksi. Dalam PP Nomor 1 tahun 2017 pasal 97 ayat 2 dinyatakan tahapan divestasi yakni, tahun keenam 20% (dua puluh persen), tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen), tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen), tahun kesembilan 44% (empat puluh empat persen) dan tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah seluruh saham.
2. Perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan untuk izin usah pertambangan (IUP) dan izin usah pertambangan khusus (IUPK), paling cepat 5 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha.
3.  Pemerintah mengatur tentang harga patokan penjualan mineral dan batubara.
4. Pemerintah mewajibkan pemegang kontrak karya itu untuk merubah izinnya menjadi rezim perijinan pertambangan khusus operasi produksi.
5. Penghapusan ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu; dan

Freeport McMoRan Inc, perusahaan induk PT Freeport Indonesia, keberatan jika harus melepaskan sahamnya sampai 51% di PT Freeport Indonesia karena artinya mereka bukan lagi pemegang saham mayoritas. Freeport McMoRan Inc ingin tetap memegang kendali PT Freeport Indonesia.[5]

PT Freeport yang menolak dengan kebijakan tersebut, akhirnya dengan tegas mengancam pemerintah RI untuk memperkarakannya ke meja hijau melalui jalur Arbitrase Internasional, apabila negoisasi yang sedang berlangsung selama 120 hari tidak menemui titik temu. Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi pun siap, apabila harus menempuh jalur arbitrase internasional.

Penulis, sebagai mahasiswa yang tidak memiliki power hanya bisa memberikan pendapat terhadap polemik yang terjadi antara PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia dalam tulisan ini dan hanya berharap agar pemerintah kali ini bisa bersikap tegas dan mendahulukan kepentingan rakyat, terutama rakyat Papua yang masih jauh dari kata sejahtera. Mereka (PT Freeport) menantang akan melakukan jalur abritrase internasional...  satu kata LAWAN....  tak perlu lagi kita banyak berunding dengan mereka “amerika”, sudah terlalu lama kita menuruti kemauan mereka, sudah seharusnya kita tegak di kaki sendiri, seperti cita-cita sang proklamator (BUNG KARNO) pendiri Bangsa “Negara kita harus menjadi Bangsa yang BERDIKARI”, untuk itu segera selesaikan masalah Freeport, penulis mendukung pemerintah apabila dapat menuntaskan permasalahan ini dengan bijak, dan segera NASIONALISASIKAN PT Freeport untuk Indonesia, untuk kemakmuran rakyat Indonesia khususnya rakyat PAPUA.



[1] Sumber: litbang kompas/grh/drew, kompas 21 feb 2017/, diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 10.00 WIB.
[2]  http://www.rappler.com/indonesia/109077-kronologi-negosiasi-perpanjangan-kontrak-freeport-indonesia. Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul: 11.15 WIB.
[3] https://saripedia.wordpress.com/tag/kontrak-karya-pt-freeport-indonesia-oleh-soeharto-rezim-orba/. Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 09.30 WIB.
[4] http://www.aktual.com/ketua-dan-anggota-komisi-vii-dibuat-terkejut-soal-kontrak-freeport/. Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 12.30 WIB.
[5] https://finance.detik.com/energi/d-3428820/kontrak-karya-dan-iupk-jadi-akar-masalah-freeport-apa-bedanya. Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 13.30 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JERAT OTT KPK BAGI PARA PENGUSAHA DALAM SUATU KORPORASI

Bahwa alasan mendasar di revisinya UU KPK adalah untuk membatasi kewenangan yang dimiliki KPK dalam pemberantasan korupsi khususnya terk...