Dapatkah Seseorang Dilaporkan Ke Polisi Karena Tidak Melunasi
Hutang
Salah satu
permasalahan hukum yang sering terjadi dimasyarakat adalah seseorang yang
dilaporkan kepolisi karena tidak melunasi tunggakan hutangnya dengan tuduhan
penipuan ataupun penggelapan. Di kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah
hal ini sering kali terjadi, dimana satu pihak yang merasa memiliki modal (rentenir) dengan mudahnya menawarkan
pinjaman kepada yang lain tentunya dengan memberikan bunga pada setiap
peminjaman. Pasar tradisional menjadi salah satu tempat yang sangat strategis
bagi rentenir untuk menawarkan pinjaman kepada mereka (pedagang) yang sangat
membutuhkan modal usaha. Sayangnya, meski praktik ini sudah disadari sangat
merugikan bagi si peminjam karena bunga yang terkadang ditentukan dengan sangat
besar, namun karena himpitan ekonomi membuat rentenir tumbuh subur dimasyarakat
sehingga benar jika ada pepatah lama “yang
kaya makin kaya, yang miskis makin miskin”.
Sekedar berbagi
pengalaman, saat saya masih kuliah dan aktif sebagai paralegal di Biro
Konsultasi bantuan Hukum (BKBH) FH Unila. Saya pernah membantu pengacara BKBH
menangani perkara-perkara semacam ini. Klien kami yang tak perlu saya sebutkan
namanya, dilaporkan oleh seseorang atas dugaan penipuan. Kemudian setelah saya
selidiki, pelapor merupakan orang yang pernah memberi pinjaman (rentenir)
kepada klien kami untuk modal usaha dagang pakaian di pasar. Namun dengan modus
yang sudah sering dilakukan oleh rentenir tersebut, saat memberi pinjaman uang,
klien kami di sodorkan sebuah kertas yang hanya berisi identitas para pihak dan
langsung diperintahkan untuk menandatangi kertas yang diberikan materai tersebut.
Karena ketidakpahamannya terhadap hukum, klien kami pun menandatangani surat
tersebut tanpa merasa curiga sedikitpun.
Bahwa kertas yang
sudah ditandatangi tersebut, kemudian dibuatkan perjanjian secara sepihak oleh
si rentenir tersebut, dengan salah satu klausulnya menjelaskan bahwa “apabila pihak kedua (klien kami) tidak
dapat mengembalikan uang beserta bunganya tersebut selama 3 bulan, maka pihak
pertama (rentenir) akan melaporkan pihak kedua kepada kepolisian”.
Benar saja,
beberapa bulan kemudian klien kami tidak mampu melunasi hutang karena bunga
yang terlampau besar, hingga akhirnya ia dilaporkan ke polisi dan sempat
dilakukan pemeriksaan. Akhirnya beberapa hari setelahnya, khawatir ia akan
ditahan oleh polisi, melalui istrinya melaporkan kejadian tersebut dan memohon
bantuan hukum kepada kami melalui BKBH FH Unila.
Tindakan yang
saat itu saya lakukan, adalah dengan menemui penyidik yang memeriksa klien
kami, dengan sedikit basa-basi agar mencairkan suasana kemudian saya jelaskan
dengan singkat bahwa “mohon hentikan
proses hukum terhadap klien kami, karena ini bukan ranah pidana. Perbuatan yang
dilakukan antara klien kami dengan pelapor adalah murni hubungan keperdataan
yaitu perjanjian hutang piutang, sehingga apabila klien kami tidak bisa
memenuhi kewajibannya untuk melunasi hutang maka perbuatannya termasuk cidera janji
(wanprestasi) dimana upaya hukum yang dapat dilakukan adalah gugatan wanprestasi
ke pengadilan bukan dengan cara memidanakan klien kami dengan dugaan penipuan
ataupun penggelapan.”
Bersyukur setelah
pertemuan tersebut, penyidik tersebut cukup kooperatif dengan menjelaskan
kepada pelapor duduk perkaranya dan menghentikan pemeriksaan terhadap klien
kami.
Dari pengalaman
saya tersebut, selanjutnya saya akan memberikan penjelasan agar anda dapat
memahami dan membedakan mana yang termasuk wanprestasi dalam suatu perjanjian dan
mana yang termasuk penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP.
Sebelum saya
menjelaskan terkait apa itu dan bagaimana seseorang dapat dikategorikan
perbuatan wanprestasi atau penipuan, perlu saya jelaskan terlebih dahulu definisi
perjanjian. Karena wanprestasi terjadi karena tidak dipenuhinya suatu janji
(cidera janji). Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur
dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan
Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih.”
Secara tersirat,
mengenai perjanjian hutang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur
dalam Pasal 1754 KUHPerdata, yaitu:
“Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang
belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan
yang sama pula.”
Apabila seseorang
tidak melunasi hutangnya, maka dia telah
melakukan perbuatan cidera janji atau wanprestasi. Pasal 1243 KUHPerdata,
menyatakan:
“Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak
dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat
dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Sesuai Pasal 1243
KUHPerdata tersebut, bahwa seseorang dinyatakan melakukan telah melakukan
cidera janji atau wanprestasi apabila tidak
memenuhi kewajiban yang diwajibkan kepadanya padahal tenggang waktu yang
diberikan kepadanya untuk melakukan kewajiban tersebut telah lewat.
Adapun makna dari
wanprestasi, berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang
timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan
satu orang atau lebih lainnya (obligatoire
overeenkomst).
Wanprestasi
dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum
Perjanjian”):
a.
Tidak melakukan
apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b.
Melaksanakan apa
yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.
Melakukan apa
yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d.
Melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Sedangkan,
penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP
pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog),
adalah sebagai berikut:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu
atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun”.
Berdasarkan pasal
di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
a.
Dengan maksud
untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
b.
Menggerakkan
orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang;
c.
Dengan
menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat
palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
Unsur poin c di
atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk
mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian
sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal
26 Juli 1990 yang mengatakan:
“Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP)
adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict
untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.”
Dalam hal ini,
jelas bahwa perkara wanprestasi tidak
dapat dijadikan sebagai tindak pidana penipuan.
Mengenai apakah
boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian)
karena tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang
hal tersebut. Karena membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua
orang dan belum tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan. Akan
tetapi, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur sebagai berikut:
“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan
boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan
untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”
Ini berarti,
walaupun ada laporan tersebut, pengadilan
tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang.
Sebagaimana
beberapa Yurisprudensi Tetap Mahmakah Agung Republik Indonesia yang juga
menyatakan bahwa hutang piutang tidak dapat dipidanakan, yaitu:
1.
Putusan Nomor
Register : 93K/Kr/1969, tertanggal 11 Maret 1970
Menyatakan: “Sengketa Hutang-piutang adalah merupakan sengketa
perdata.”
2.
Putusan Nomor
Register : 39K/Pid/1984, tertanggal 13 September 1984
Menyatakan: “Hubungan hukum antara terdakwa dan saksi merupakan
hubungan perdata yaitu hubungan jual beli, sehingga tidak dapat ditafsirkan
sebagai perbuatan tindak pidana penipuan.”
3.
Putusan Nomor
Register : 325K/Pid/1985, tertanggal 8 Oktober 1986
Menyatakan: “Sengketa Perdata Tidak dapat dipidanakan.”
Jadi, dari uraian
saya di atas secara mendasar wanprestasi dengan penipuan adalah dua perbuatan
dengan ranah hukum yang berbeda. Sehingga pada akhirnya saya berharap disinilah
peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan
advokat sebagai catur wangsa untuk
tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan
hukum perdata. Jangan sampai ketidaktahuan masyarakat akan hukum, menjadikan
dirinya sebagai pihak yang selalu salah dan disalahkan hingga akhirnya penjara
penuh bukan karena di isi oleh orang-orang salah namun karena terjebak dalam
sebuah sistem dimana masyarakat tidak bisa membedakan mana yang salah dan mana
yang benar sebab ketidaktahuannya akan hukum. Oleh karenanya, saya menutup
pembahasan kali dengan sebuah adagium hukum, yaitu:
“IGNORANTIA EXCUSATUR NON JURIS SED FACTI”
(Ketidaktahuan akan fakta-fakta dapat dimaafkan tapi tidak
demikian halnya ketidaktahuan akan hukum)
Bandar Lampung, 15 Februari 2018
Penulis,
Abdul Rahman
Praja Negara, S.H.
Dasar hukum:
1.
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2.
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt)
3.
Undang-Undang No.
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia