ebagai warga negara Indonesia, kita
tentu mengerti isi sila pertama pada Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sila pertama tersebut mengandung makna bahwa: pertama, adanya pengakuan dan
keyakinan bangsa terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Kedua, bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius, bukan bangsa yang ateis. Pengakuan
terhadap Tuhan diwujudkan dengan perbuatan untuk taat pada perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya sesuai dengan ajaran atau tuntutan agama yang dianutnya.
Ketiga, adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati
kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminasi antar
umat beragama.
Makna yang terkadung dalam setiap
butir Pancasila khususnya sila pertama merupakan hasil perenungan jiwa yang
mendalam yang dilakukan oleh para pendiri negara (the founding father) kita, yang dituangkan dalam suatu sistem dan
menjadi ideologi Bangsa Indonesia.
Dengan ideologi Pancasila dalam sila
pertama tersebut, dengan tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia merupakan negara
ketuhanan atau bisa diartikan negara yang beragama. Pernyataan ini tidak saja
dapat terbaca dalam Pembukaan UUD 1945 dimana perumusan Pancasila itu terdapat
tetapi dijabarkan lagi dalam tubuh UUD 1945 itu sendiri pasal 29 ayat 1, yang
berbunyi sebagai berikut : “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Adanya pernyataan pengakuan dasar
Ketuhanan Yang Maha Esa secara yuridis konstitutional ini, mewajibkan
pemerintah atau aparat negara untuk dapat menjalankan setiap kebijakan dengan
berlandaskan pada asas Ketuhanan.
Batang tubuh UUD 1945 juga menjelaskan
dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa: “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayannya itu”. Hal tersebut memiliki arti bahwa Negara Indonesia tidak
terdiri hanya satu golongan agama tetapi terdiri dari berbagai kumpulan umat
beragama yang disatukan dalam bingkai “Kebhinnekaan”. Sehingga, dalam kaitannya
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara tentu harus berlandaskan pada
nilai-nilai Ketuhanan.
Sayangnya, pemahaman dan implementasi
terhadap konsep atau nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila khususnya sila
pertama mulai memudar seiring berubahnya zaman. Pesatnya perkembangan teknologi
dan informasi membuat dunia seperti tanpa batas, ideologi-ideologi dari bangsa
dan negara lain dapat masuk dengan mudah mempengaruhi berbagai sistem tatanan
kehidupan di Indonesia. Tentu hal tersebut merupakan ancaman yang sangat besar
terhadap keutuhan kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia, karena warga negara
Indonesia dapat dengan mudah dipecah belah dengan pemikiran-pemikiran yang
tidak sejalan dengan Pancasila seperti paham sekularisme, plurarisme dan
liberalisme.
Pada hakikatnya paham sekulerisme
sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Al Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdha Al
-Rasyidah adalah pemisahan agama dari kehidupan manusia atau pemisahan Tuhan
dari kehidupan manusia. Sekularisme secara sederhana juga
dapat didefinisikan sebagai doktrin yang menolak campur tangan nilai-nilai
keagamaan dalam urusan manusia, singkatnya urusan manusia harus bebas dari
agama atau dengan kata lain agama tidak boleh meng intervensi urusan manusia.
Segala tata-cara kehidupan antar manusia adalah menjadi hak manusia untuk
mengaturnya termasuk dalam urusan negara, Tuhan tidak boleh mengintervensinya.
Selanjutnya Pluralisme adalah sebuah
paham yang mendoktrinkan bahwa kebenaran itu bersifat banyak atau tidak
tunggal. Ada Pluralisme dalam agama, hukum, moral, filsafat dan lain
sebagainya, dalam kajian ini akan kita ambil defenisi: “Hakekat dan keselamatan
bukanlah monopoli satu agama tertentu, semua agama menyimpan hakikat yang
mutlak dan sangat agung, menjalankan masing-masing progam agama bisa menjadi
sumber keselamatan”. Terkait paham liberalisme sendiri,
penulis mengutip pendapat Syaikh Sulaiman al-Khirasyi menyebutkan, liberalisme
adalah madzhab pemikiran yang memperhatikan kebebasan individu. Mazhab ini
memandang, wajibnya menghormati kemerdekaan individu, serta kebanyakan bahwa
tugas pokok pemerintahan adalah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat,
seperti kebebasan berpikir, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan
kepemilikan pribadi, kebebasan individu dan kebebasan agama. Dalam hal
kebebasan agama, penganut paham liberalisme ini berhak menganut agama apapun
sesuai keinginannya begitupun sebaliknya untuk memilih tidak menganut agama
apapun.
Ketiga paham tersebut tentu sangat
bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang terkadung dalam Pancasila. Jika
di Eropa, paham sekularisme, pluralisme dan libelarisme sudah mulai
ditinggalkan karena menimbulkan banyak bencana kemanusiaan termasuk didalamnya
Korupsi dan berpolitik dengan menghalalkan segala cara, bahkan di Turki saat
ini kaum Liberal Sekuler ditempatkan pada sebuah pulau khusus karena pemikiran
mereka sudah tidak berlaku lagi di tengah-tengah masyarakat Turki hari ini dan
partai berbasis Islam pun mulai terlihat berjaya sejak kepemimpinan Recep
Tayyip Erdoğan terpilih menjadi presiden Turki. Karena sebelumnya Turki dalam
cengkraman Sekular liberalisme. Kini, Turki kembali pada sistem berbasis agama.
Indonesia, lagi-lagi dalam kondisi selalu yang “galau” dan “bingung”, ketika
semua orang meninggalkannya Indonesia baru mulai menyerapnya dan penulis
melihat jika eropa mulai maju dengan meninggalkan liberal sekulerisme,
Indonesia dalam ancaman jurang kehancuran.
Sekali lagi, Indonesia dalam ancaman
kekuatan “Jahat” yang sangat berbahaya untuk pertahanan nilai luhur bangsa,
serbuan kebebasan tanpa batas dipayungi dengan sistem liberal sekularisme dan
bersembunyi dibelakang HAM dan Kebebasan berekspresi terjadi. Lihatlah
bagaimana kini, remaja Indonesia telah terpengaruh oleh budaya sekularisme yang
tidak lagi mementingkan akan hadirnya Tuhan dalam setiap kehidupan, budaya
barat mulai masuk dan ditiru misalnya pergaulan bebas (freesex) bahkan yang terbaru yaitu komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender(LGBT) dengan mengatasnamakan HAM mereka menghalalkan hubungan
sesama jenis yang semakin menjerumuskan generasi penerus Bangsa Indonesia dalam
budaya cinta dunia (Hedonisme). Tak
hanya itu, hal tersebut mulai memasuki ranah politik dan hukum untuk mensahkan
RUU Keadilan Keseteraan Gender (RUU KKG) yang sedang digodok sebagai bentuk
buah hasil dari perjuangan kelompok Liberal Sekuler Indonesia.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memberikan perhatian khusus terhadap munculnya inisiaif RUU KKG tersebut, MUI
berpandangan bahwa RUU KKG mengacu pada paham liberalisme dan nilai-nilai barat
yang tidak memiliki basis filosofis, ideologis, sosial dan budaya masyarakat
Indonesia yang menjunjung tinggi agama, budaya, etika dan moral. RUU KKG tidak
mengacu pada Pancasila yang mengedepankan pentingnya nilai-nilai religiusitas
dan Ketuhanan Yang Maha Esa. RUU KKG juga tidak mencamtumkan Pancasila sebagai
sumber hukumnya sehingga wajar apabila isinya pun tidak mencerminkan Pancasila
serta bertentangan pula dengan UUD 1945 antara lain bertentangan dengan Pasal
28I, 28J dan 29 UUD 1945.
Fakta yang tentunya masih hangat
dibeberapa surat kabar Indonesia tentunya munculnya pernyataan salah satu Cagub
DKI yang menyatakan tidak boleh ta’at pada ayat suci dan lebih baik ta’at pada
ayat Konstitusi yang membuat situasi umat beragama khususnya Islam merasa
tersakiti hingga berdampak pada perpecahan antar umat beragama.
Sebagai Negara Pancasila, Dengan Dasar
KETUHANAN YANG MAHA ESA, artinya semua warga negara Indonesia meyakini bahwa
Tuhan itu Esa dan menjadikan Agama sebagai kepribadian bangsa, semua agama
mengajarkan mana yang baik dan mana yang benar, mana yang halal dan mana yang
haram,. Seperti halnya ketika umat Islam mengkritisi dan memprotes penampilan
Julia Perez, Agnes Monica pun pernah diprotes Gerejawan Indonesia terkait
penampilannya yang super seksi bahkan hampir terbuka ketika menerima
penghargaan AMI Award beberapa tahun yang lalu, Artinya sampai disini kontrol
Agama sangat kuat dan ini harus dilestarikan, dan inilah sesungguhnya yang
dicontoh bangsa lain dari bangsa Indonesia.
Penulis mengerti, para penganut paham
sekulerisme dan liberalisme tentu tidak suka dikekang dengan aturan agama. Yang
menawarkan kebebasan seperti halnya Iblis menyatakan bebas untuk tidak
melakukan Pengabdian kepada TUHAN, bahkan Iblis meminta Izin untuk mengajak
manusia masuk Neraka buat menemaninya nanti. Itulah Iblis, dimana tidak mau diikat
oleh ikatan agama. Ingin bebas sebebas-bebasnya tanpa batas. Setelah manusia
bebas melakukan apapun sekehendaknya atas dasar kebebasan berfikir, kebebasan
berbudaya dan kebebasan berekspresi tanpa batas, pada akhirnya target intinya
adalah MENGHILANGKAN AGAMA. Agama akan termarginalkan demi kepentingan Syahwat
kebebasan berekspresi menurut mereka.
Dampak terburuk dari marginalisasi
agama adalah orang menjadikan agama hanya formalitas, bukan sebagai identitas,
dia muslim tetapi tidak sholat ke masjid (Islam KTP), dia kristiani tetapi
tidak misa ke gereja dan yang lainnya pun begitu, inilah dampak terburuk dari
kekuatan jahat tersebut dimana Eropa saja sudah meninggalkannya, karena ketika
Liberalisme diterapkan tingkat
kegelisahan di Negara-negara tersebut meningkat tajam.
Penulis mengutip sebuah Firman Allah
SWT dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat: 11-12, yang telah memperingatkan
terhadap tipu daya orang-orang Sekularisme:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُو
أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِنْ لَا يَشْعُرُونَ
Artinya: “Dan bila dikatakan kepada
mereka:“Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab:
“Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah
orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS.
Al-Baqarah:11-12)
Ayat tersebut di atas menjelaskan
bahwa orang-orang munafik adalah mereka yang pintar mencari dalil kebenaran
(tipu daya kaum sekularisme dan liberalisme) di atas kesesatan, seperti
mengatasnamakan HAM untuk membenarkan perbuatan setiap orang untuk tidak
memilih agama apapun atau melakukan perkawinan sejenis seperti yang telah
disinggung sebelumnya.
Penulis memberi kesimpulan dan saran
bahwa Konsep Ketuhanan seperti yang termaktub dalam sila pertama Pancasila
merupakan LANDASAN yang JELAS bagi negara Indonesia dalam menjalani kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk menjadi negara yang berideologi, mandiri dan
beradab. Sehingga, kedepan Bangsa Indonesia harus kembali pada Ideologi
Pancasila tersebut, bangga akan jati dirinya dengan mengimplementasikan setiap
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila khususnya sila pertama agar tidak
terjebak dalam paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme.
Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, kehidupan beragama bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sila-sila
yang lain. Oleh karena itu kehidupan beragama harus dapat membawa persatuan dan
kesatuan bangsa, harus dapat mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradap, harus dapat menyehatkan pertumbuhan demokrasi, sehingga membawa
seluruh rakyat Indonesia menuju terwujudnya keadilan dan kemakmuran lahir dan
batin. Dalam hal ini berarti bahwa sila pertama memberi pancaran keagamaan,
memberi bimbingan pada pelaksanaan sila-sila yang lain.
Konsep Ketuhanan juga sebagai sarana
untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa, maka asas kebebasan memeluk
agama ini harus diikuti dengan asas toleransi antar pemeluk agama, saling
menghargai dan menghormati antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama
yang lain dalam menjalankan ibadah menurut agama mereka masing-masing.
Kehidupan beragama tidak bisa
dipisahkan sama sekali dari kehidupan duniawi atau kemasyarakatan. Keduanya
merupakan satu sistem sebagaimana satunya jiwa dan raga dalam kehidupan
manusia. Agama sebagai alat untuk mengatur kehidupan di dunia, sehingga dapat
mencapai kehidupan akhirat yang baik. Kehidupan beragama tidak bias lepas dari
pembangunan masyarakat itu sendiri, bangsa dan Negara demi terwujudnya keadilan
dan kemakmuran materiil maupun spiritual bagi rakyat Indonesia. Semakin kuat
keyakinan dalam agama, semakin besar kesadaran tanggungjawabnya kepada Tuhan
bangsa dan Negara, semakin besar pula kemungkinan terwujudnya kesejahteraan, kemakmuran
dan keadilan bagi bangsa itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu
sistem untuk menanamkan lagi nilai-nilai Ketuhanan dalam jiwa masyarakat
Indoneisa khususnya generasi muda dengan memberikan seminar kebangsaan atau
memasukkan kurikulum keagamaan yang lebih menekankan pada penerapannya di
setiap kehidupan.