Sejarah
mencatat bahwa awal mula ditemukannya Gunung Emas di tanah Papua adalah sejak
ekspedisi yang dilakukan oleh Jean Jacques Dozy pada tahun 1936 yang menemukan
cadangan estberg atau disebut gunung
emas di pedalaman Papua.[1]
Terdapat mitologi kuno yang sangat
melekat dalam jiwa masyarakat adat di daerah tersebut, dimana dahulu di tengah
masyarakat ada kelahiran manusia sejati, yang dilahirkan seorang perempuan,
yang setelah kematiannya berubah menjadi tanah yang membentang sepanjang daerah
Amungsal (tanah Amungme), daerah ini dianggap keramat oleh masyarakat setempat
sehingga secara adat tidak dijinkan untuk dimasuki.
Namun,
daerah tersebut akhirnya dibuka untuk lokasi pertambangan oleh PT Freeport
Indonesia (PT FI), sejak penandatanganan kontrak karya antara PT FI dengan
pemerintah Indonesia pada tahun 1967, kontrak ini berlaku selama 30 tahun sejak
mulai beroperasi 1973. Dan itulah warga suku Amungme dipindahkan ke luar dari
wilayah mereka ke wilayah kaki pegunungan.
PT
Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan
Copper & Gold Inc. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan
eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi
di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia,
tepatnya di Kota Tembagapura (sebuah kota yang namanya diresmikan oleh Presiden
Soeharto). Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga,
emas dan perak ke seluruh penjuru dunia. 24 Tahun lebih PT FI melakukan
eksploitasi terhadap sumber daya alam di tanah papua, membuat perusahaan
tersebut menjadi salah satu perusahaan dengan produksi emas dan tembaga
terbesar di dunia. Tentunya setelah kembali menemukan cadangan di Grasberg, membuat PT FI sangat bersemangat
untuk kembali menjarah emas di tanah Papua.
Pendandatangan
Kontrak Karya II pun, terjadi pada tahun 1991, berlaku 30 tahun dan akan
berakhir 2021 serta kemungkinan perpanjangan 2 kali 10 tahun (sampai 2041).[2] Hal
tersebut tentu, membuat para petinggi perusahaan tersebut semakin terbuai
dengan kekayaan hasil menjarah di tanah papua tersebut.
Sebagai
mahasiswa, penulis merasa sangat prihatin dengan fakta tersebut, sampai kapan
hal tersebut akan terjadi ???, sampai kapan PT Freeport terus menjarah emas di
tanah papua, membuat amerika semakin kaya dan meninggalkan kerusakaan ekosistem
bagi generasi Papua selanjutnya. Kemana
perginya para insinyur dan sarjana geologi lulusan terbaik dari penjuru
universitas ternama di indonesia ?? apakah..
mereka tak bisa mengelola tambang emas tersebut..??? atau memang hal
tersebut sengaja dibiarkan oleh pemerintah yang sering kali talik ulur masalah
freeport ??
Jika
bangsa ini ingin bebas dari penjajahan era modern seperti saat ini, tentu urusan freeport harus menjadi prioritas
yang harus segera terselesaikan. Indonesia dijajah begitu lama karena di
tengah-tengah perjuangannya selalu ada pengkhianat dan para oportunis sejati. Masih teringat jelas
dalam ingatan kita, dipertengahan tahun 2015, dua tahun yang lalu. Dimana ada
seroang wakil rakyat, yang mencoba meminta komisi atas saham milik PT Freeport
Indonesia tersebut, dan tanpa memiliki urat malu lagi, kini ia bertengger
dikursi DPR setelah sebelumnya sempat dicopot sebagai Ketua DPR RI. Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah penyakit yang sudah mendarah daging disetiap
jiwa para pemimpin bangsa. Awal mula PT Freeport dapat menanamkan investasinya
di tanah Papua juga karena permainan politik (KKN) yang dilakukan semasa rezim
orde baru, banyak pejabat-pejabat negara bahkan militer ikut menerima
bonus-bonus berupa jabatan, kekuasaan dan
hadiah lainnya sebagai imbalan atas terjalinnya kerjasama antara PT
Freeport dengan Pemerintah Indonesia serta kemananan yang diberikan pihak
militer saat itu 24 jam non-stop.[3]
Bukankah
dalam UUD 1945, pasal 33 ayat (3) negara menjamin bahwa “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Frasa “dikuasai oleh negara” dalam hal
ini tidak berarti memiliki, karena pada dasarnya kepemilikan tanah, termasuk
hak ulayat mutlak milik warga negara sendiri, merekalah yang berhak mengelola
dan menikmati hasil kekayaan alam tersebut. Pemerintah hanya berwenang
memberikan perlindungan dan kepastian hukum dengan membuat berbagai kebijakan,
bukan serta merta menjadi seperti pemilik tanah tersebut, sehingga
kewenangannya melampaui batas.
Seperti
kontrak karya yang disepakati tersebut di atas, bahkan dalam kesepakatan yang
dibuat dalam kontrak karya tersebut, tidak ada pihak yang mewakili kepentingan
rakyat papua, hanya pemerintah rezim orde baru dan PT freeport saja, sebagai
pihak yang bersama-sama menandatangani kesepakatan tersebut. Sehingga negara
terkesan seperti mafia tanah bagi rakyatnya sendiri, yang bisa seenaknya
membuat perjanjian dengan perusahaan yang hendak berinvestasi di tanah
indonesia. Demi keuntungan pihak-pihak tertentu.
Dalam
kontrak karya 1991 tersebut dijelaskan bahwa indonesia hanya mendapatkan
keuntungan hanya 1% dari keseluruhan keuntungan PT Freeport pertahunnya. dimana, logika matematiknya..?? bagaimana bisa, kita yang memiliki lahan,
asing yang mengelola tapi bagi hasilnya, setengah keuntungan pun tidak.
Padahal, ibarat seorang buruh tani dikampung-kampung, yang bekerja mengelola
lahan sawah milik seseorang, mereka pun tetap dapat jatah minimal setengahnya.
Ketua
dan anggota komisi VII DPR RI pun sempat dibuat terkejut oleh pernyataan
Menteri ESDM saat itu pada tahun 2015, Sudirman Said, yang menjelaskan bahwa
“Dalam kontrak yang ditanda tangani tahun 1991, ada empat item siapapun
pemerintahnya dan menterinya akan mengalami kesulitan,” kata Sudirman Said di
ruangan komisi VII DPR-RI Senayan Jakarta, Selasa (1/12).[4]
Kontrak
tersebut berbunyi, pihak Freeport
disamping mendapatkan perpanjangan selama 30 tahun, juga bisa memperpanjang dua
kali sepuluh tahun. Kemudian Freeport dapat mengajukan perpanjangan sejak
ditandatangani kontrak ini. Apabila tidak ada alasan mendasar, maka pemerintah
tidak boleh menunda persetujuan perpanjangan tersebut.
Kemudian
pada item kedua tercantum pada klausul pasal 32, kontrak ini mentaati peraturan perundang-undangan sampai dengan terbit
penandatanganan kontrak ini. “Artinya bisa mengabaikan kontrak dan UU yang terbit sesudah kontrak itu,” kata
Sudirman Said.
Selanjutnya,
pada item ketiga ada kata-kata sepanjang
kontrak ini berlaku, pemerintah Indonesia tidak bisa menasionalisasikan tambang
ini. Kemudian pada item terakhir menyebutkan, bahwa setelah habis masa kontrak kapanpun, apabila ada pengalihan saham,
harus dilakukan melalui harga pasar.
Mereka
semua kaget dan heran mengetahui hal tersebut, yang menjadi pertanyaan penulis, lalu sejak 1991 sampai 2015 saat itu,
kemana dan apa saja yang dikerjakan oleh wakil rakyat tersebut, sampai-sampai
tidak tahu-menahu mengenai kontrak karya kedua yang sudah terlanjur
ditandatangani tersebut ???
Dua
tahun kemudian, setelah kisruh kasus “Papa
Minta Saham”, yang sempat disinggung sebelumnya, tepatnya pada awal tahun
2017 ini, polemik antara pemerintah dengan PT Freeport kembali terjadi.
Pemerintah dalam hal ini Mentri ESDM yang baru Ignasius Jonan melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara serta peraturan turunannya, yang telah ditandatangani oleh
Presiden Jokowi. Pada 10 Februari 2017 lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan
menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi untuk PT
Freeport Indonesia. IUPK tersebut diberikan agar Freeport dapat melanjutkan
kegiatan operasi dan produksinya di Tambang Grasberg, Papua. Perubahan
perjanjian Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK tersebut sesuai dengan amanat
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Yang dijelaskan dalam 170 UU Minerba tersebut bahwa pemegang Kontrak Karya wajib melakukan pemurnian mineral dalam negeri
dalam jangka waktu 5 tahun sejak diundangkannya Undang-undang tersebut.
Artinya,
Freeport sebagai pemegang KK tak bisa lagi mengekspor konsentrat tembaga, hanya
produk yang sudah dimurnikan yang boleh diekspor. Sementara baru perusahaan
tambang yang berpusat di Arizona, Amerika Serikat (AS) itu, baru bisa
memurnikan 40% dari konsentrat tembaganya di smelter (fasilitas pemurnian mineral) Gresik, yang sampai saat ini
belum rampung pembangunannya.
Kewajiban
untuk merubah Kontrak Karya dengan IUPK ditanggapi oleh Pimpinan PT Freeport
dengan respon yang negatif, perusahaan tersebut menolak untuk melakukan
perubahan tersebut dan besikeras untuk tetap mengacu pada Kontrak Karya
sebelumnya, karena dinilai sangat merugikan perusahaan.
Poin-poin
penting yang dianggap merugikan tersebut, diantaranya:
1. Perubahan
ketentuan tentang divestasi saham sampai dengan 51% secara bertahap.
Divestasi
51% Ini menurut Jonan penting karena instruksi Bapak Presiden, dengan
diterapkanya PP ini maka semua pemegang kontrak karya dan IUPK dan sebagainya
itu wajib tunduk kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba yang
wajib itu melakukan divestasi saham sampai 51% sejak masa produksi. Dalam PP
Nomor 1 tahun 2017 pasal 97 ayat 2 dinyatakan tahapan divestasi yakni, tahun
keenam 20% (dua puluh persen), tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen), tahun
kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen), tahun kesembilan 44% (empat puluh
empat persen) dan tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah
seluruh saham.
2. Perubahan
jangka waktu permohonan perpanjangan untuk izin usah pertambangan (IUP) dan
izin usah pertambangan khusus (IUPK), paling cepat 5 tahun sebelum berakhirnya
jangka waktu izin usaha.
3. Pemerintah
mengatur tentang harga patokan penjualan mineral dan batubara.
4. Pemerintah
mewajibkan pemegang kontrak karya itu untuk merubah izinnya menjadi rezim
perijinan pertambangan khusus operasi produksi.
5. Penghapusan
ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan
penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu; dan
Freeport
McMoRan Inc, perusahaan induk PT Freeport Indonesia, keberatan jika harus
melepaskan sahamnya sampai 51% di PT Freeport Indonesia karena artinya mereka
bukan lagi pemegang saham mayoritas. Freeport McMoRan Inc ingin tetap memegang kendali
PT Freeport Indonesia.[5]
PT
Freeport yang menolak dengan kebijakan tersebut, akhirnya dengan tegas
mengancam pemerintah RI untuk memperkarakannya ke meja hijau melalui jalur
Arbitrase Internasional, apabila negoisasi yang sedang berlangsung selama 120
hari tidak menemui titik temu. Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi pun
siap, apabila harus menempuh jalur arbitrase internasional.
Penulis,
sebagai mahasiswa yang tidak memiliki power hanya bisa memberikan pendapat
terhadap polemik yang terjadi antara PT Freeport dengan Pemerintah Indonesia dalam
tulisan ini dan hanya berharap agar pemerintah kali ini bisa bersikap tegas dan
mendahulukan kepentingan rakyat, terutama rakyat Papua yang masih jauh dari
kata sejahtera. Mereka (PT Freeport) menantang akan melakukan jalur abritrase
internasional... satu kata LAWAN.... tak perlu lagi kita banyak berunding dengan
mereka “amerika”, sudah terlalu lama
kita menuruti kemauan mereka, sudah seharusnya kita tegak di kaki sendiri,
seperti cita-cita sang proklamator (BUNG
KARNO) pendiri Bangsa “Negara kita harus menjadi Bangsa yang BERDIKARI”, untuk itu segera selesaikan
masalah Freeport, penulis mendukung pemerintah apabila dapat menuntaskan
permasalahan ini dengan bijak, dan segera NASIONALISASIKAN
PT Freeport untuk Indonesia, untuk kemakmuran rakyat Indonesia khususnya rakyat
PAPUA.
[1]
Sumber: litbang kompas/grh/drew, kompas 21 feb 2017/, diakses pada: Minggu, 26
Februari 2017, pukul 10.00 WIB.
[2]
http://www.rappler.com/indonesia/109077-kronologi-negosiasi-perpanjangan-kontrak-freeport-indonesia.
Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul: 11.15 WIB.
[3]
https://saripedia.wordpress.com/tag/kontrak-karya-pt-freeport-indonesia-oleh-soeharto-rezim-orba/.
Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 09.30 WIB.
[4]
http://www.aktual.com/ketua-dan-anggota-komisi-vii-dibuat-terkejut-soal-kontrak-freeport/.
Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 12.30 WIB.
[5]
https://finance.detik.com/energi/d-3428820/kontrak-karya-dan-iupk-jadi-akar-masalah-freeport-apa-bedanya.
Diakses pada: Minggu, 26 Februari 2017, pukul 13.30 WIB.